home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Pelatihan Jarak Jauh
Pelatihan Klasikal
Open Class
BDK Podcast Mappakoe
Dashboard Pelatihan
Kalender Pembelajaran
Pojok Keuangan BDK Makassar
3 Hal Penting yang Mungkin Belum Anda Ketahui tentang Retensi
Balai Diklat Keuangan Makassar
Selasa, 29 September 2020 12:20 WIB
Oleh : Mandar Trisno Hadisaputra
Widyaiswara Ahli Muda Balai Diklat Keuangan Makassar
A. Pendahuluan
Pada kontrak-kontrak pekerjaan konstruksi, setelah penyedia melaksanakan keseluruhan pekerjaan dan melakukan serah terima pekerjaan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), maka diperlukan masa pemeliharaan. Masa Pemeliharaan adalah jangka waktu untuk melaksanakan kewajiban pemeliharaan oleh Penyedia, selama masa pertanggungan yaitu terhitung sejak tanggal penyerahan pertama pekerjaan (Provisional Hand Over) sampai dengan tanggal penyerahan akhir pekerjaan (Final Hand Over). Masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen adalah selama 6 (enam) bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen adalah selama 3 (tiga) bulan dan dapat melampaui tahun anggaran.
Dalam hal dilakukan serah terima pekerjaan secara parsial, maka kewajiban pemeliharaan diperhitungkan setelah serah terima pertama pekerjaan untuk bagian pekerjaan (PHO parsial) tersebut dilaksanakan sampai masa pemeliharaan bagian pekerjaan tersebut berakhir sebagaimana yang tercantum dalam Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK).
Selama masa pemeliharaan penyedia wajib memantau hasil pekerjaan, dan menjaga serta memelihara agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan yang tidak diinginkan. Seluruh biaya perbaikan dan perawatan apabila terjadi kerusakan bangunan ditanggung penyedia. Masa pemeliharaan bukanlah waktu untuk menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan yang belum terselesaikan, melainkan untuk memelihara hasil pekerjaan yang sudah 100% dikerjakan dan telah dilakukan serah terima pertama pekerjaan sehingga memliki kondisi tetap seperti pada saat penyerahan pertama.
PPK atau pengawas pekerjaan akan memeriksa setiap hasil pekerjaan dan memberitahukan secara tertulis kepada penyedia dalam hal terjadi cacat mutu selama masa pemeliharaan. Penyedia berkewajiban untuk memperbaiki cacat mutu dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberitahuan.
Penyedia yang telah melaksanakan semua kewajibannya selama masa pemeliharaan dengan baik dan telah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak, mengajukan permintaan secara tertulis kepada PPK untuk penyerahan akhir pekerjaan. PPK wajib melakukan pembayaran sisa harga kontrak yang belum dibayar atau mengembalikan jaminan pemeliharaan.
Namun apabila penyedia tidak melaksanakan kewajiban selama masa pemeliharaan atau tidak memperbaiki cacat mutu sebagaimana mestinya, maka PPK dapat memutus kontrak secara sepihak.
Sanksi yang diberikan kepada penyedia dalam hal pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP nomor 9 tahun 2018 dan peraturan Menteri PUPR nomor 14 tahun 2020, adalah dikenakan sanksi daftar hitam selama 1 (satu) tahun dan sanksi berupa tidak dibayarkan uang retensi atau pencairan surat jaminan pemeliharaan. PPK berhak menggunakan retensi untuk membiayai perbaikan/ pemeliharaan. Apabila terdapat nilai sisa penggunaan retensi atau uang pencairan surat jaminan pemeliharaan tersebut maka PPK wajib menyetorkan kepada Kas Negara.
Dalam artikel ini, penulis akan membatasi pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah pada satuan kerja (satker) pengelola APBN dan akan dibahas beberapa hal sebagai berikut :
1. Ketentuan pemotongan dan pembayaran retensi.
2. Perlakuan surat jaminan pemeliharaan ketika terjadi pemutusan kontrak.
3. Cara penggunaan retensi untuk melakukan perbaikan ketika terjadi pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan.
B. Pembahasan
1. Ketentuan pemotongan dan pembayaran retensi
Pada pasal 53 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menyebutkan sebagai berikut :
a) Pembayaran prestasi pekerjaan diberikan kepada penyedia setelah dikurangi angsuran pengembalian uang muka, retensi dan denda.
b) Besaran retensi adalah sebesar 5% dan digunakan sebagai jaminan pemeliharaan pekerjaan.
Retensi adalah jumlah termin (progress billing) yang belum dibayarkan atau ditahan hingga pemenuhan kondisi yang ditentukan dalam kontrak untuk pembayaran jumlah tersebut.
PPK menahan sebagian pembayaran prestasi pekerjaan dengan memperhitungkan atau memotong setiap pembayaran sebesar 5%. Hal ini sebagai jaminan bahwa penyedia memiliki kewajiban melaksanakan masa pemeliharaan.
Bagi satker pengelola APBN, dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-58/PB/2013 tentang Pengelolaan Data Supplier dan Data Kontrak dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara, dijelaskan bahwa PPK diwajibkan melakukan pencatatan perjanjian/kontrak (berupa surat perintah kerja dan surat perjanjian) yang telah ditandatangani ke dalam suatu sistem yang disediakan oleh Ditjen Perbendaharaan cq Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk dicatatkan ke dalam database SPAN. Pada kontrak pekerjaan konstruksi, maka data kontrak harus mencantumkan persentase dari nilai kontrak yang diperlakukan sebagai retensi dan rencana pembayaran retensi setelah selesai masa pemeliharaan.
PPK dan penyedia dapat menyepakati dalam klausul kontrak mengenai nilai potongan terhadap nilai pembayaran dalam rangka retensi pemeliharaan yang dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemotongan secara proporsional dari total nilai retensi sesuai prosentase nilai angsuran/pembayaran yang ditagihkan terhadap total nilai kontrak;
b. Pemotongan sebesar total nilai retensi pada rencana angsuran/pembayaran tertentu; atau
c. Pemotongan sebesar total nilai retensi pada beberapa rencana angsuran/ pembayaran yang tidak mengacu pada prosentase nilai pembayaran yang ditagihkan terhadap total nilai pembayaran.
Nilai rencana angsuran/pembayaran yang dicatatkan adalah sebesar netto setelah dikurangi nilai potongan retensi.
Ketika prestasi pekerjaan penyedia telah terjadi PHO kepada PPK, maka penyedia dapat dibayarkan sebesar 95% dari nilai kontrak. PPK menahan sebagian pembayaran dengan nilai total 5% dari nilai kontrak sebagai retensi. Uang retensi yang ditahan masih berada di KPPN selaku Kuasa BUN. Pembayaran uang retensi tersebut dibayarkan setelah penyedia menyelesaikan kewajibannya hingga masa pemeliharaan berakhir yang ditandai dengan FHO.
Apabila masa pemeliharaan tersebut berakhir pada tahun anggaran berikutnya yang menyebabkan retensi tidak dapat dibayarkan, maka uang retensi dapat dibayarkan pada saat PHO. Pembayaran dilakukan setelah penyedia menyampaikan surat jaminan pemeliharaan senilai uang retensi kepada PPK.
2. Perlakuan surat jaminan pemeliharaan ketika terjadi pemutusan kontrak
Proses penyelesaian surat jaminan pemeliharaan atas pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan merujuk PMK 145/PMK.05/2017 tentang Tata cara pembayaran atas beban APBN sebelum barang/Jasa diterima dilakukan sebagai berikut :
a. Penyetoran
1). KPA/PPK menerbitkan Surat Penetapan Nilai Pengembalian Kepada Negara (SPNP). SPNP dibuatkan berdasarkan surat pemutusan kontrak dan hasil pemeriksaan pekerjaan yang telah ditandatangani oleh PPK dan/atau konsultan pengawas. Nilai SPNP adalah sebesar bruto pembayaran yang telah dibayarkan oleh Negara namun belum ada prestasi pekerjaan karena adanya wanprestasi dan/atau pemutusan kontrak. Nilai pengembalian kepada Negara adalah merupakan piutang Negara.
2). KPA/PPK menerbitkan dan menyampaikan Surat Perintah Penyetoran Pengembalian (SP3) sebagai penagihan pertama disertai SPNP dan surat pemutusan kontrak kepada penyedia dengan tembusan Kepala KPPN mitra kerja dan LKPP.
3). Penyedia melakukan pengembalian ke kas Negara paling lama 7 (tujuh) setelah SP3 diterbitkan oleh KPA/PPK. Dalam hal penyedia tidak melakukan pengembalian ke kas Negara, pengembalian kepada Negara dilakukan melalui Klaim jaminan.
b. Klaim Jaminan Pemeliharaan
1). KPA/PPK melakukan klaim jaminan pemeliharaan sebelum berakhirnya masa klaim yang berada dalam penatausahaan dan pengawasannya kepada penerbit penjamin sebagai penagihan kedua, dengan tembusan Kepala KPPN.
2). Penjamin melakukan pencairan jaminan dan pengembalian ke kas Negara paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima penagihan kedua.
3). Dalam hal penjamin tidak bersedia melakukan pencairan jaminan dan pengembalian ke kas Negara KPA/PPK mengajukan klaim melalui Kantor Pusat Penjamin sebagai penagihan ketiga.
4). Kantor Pusat memerintahkan penjamin untuk melakukan pencairan jaminan dan pengembalian ke kas Negara paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak penagihan ketiga diterima oleh Kantor Pusat Penerima.
5). Dalam hal penjamin tidak bersedia melakukan pencairan jaminan dan pengembalian ke kas Negara, KPA menyampaikan adanya kegagalan klaim/ pencairan jaminan kepada Kepala KPPN.
c. Tindak Lanjut Gagal Klaim Jaminan Pemeliharaan
1). KPA memberitahukan kepada penyedia barang/jasa atas kegagalan klain dengan tembusan kepada BPK, BPKP, dan APIP.
2). Pemberitahuan kepada penyedia disertai dengan SP3 sebagai penagihan keempat.
3). Penyedia wajib melakukan pencairan jaminan dan pengembalian ke kas Negara paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kalender sejak SP3 diterima.
4). Dalam hal sampai dengan 90 (Sembilan puluh) hari kalender sejak diterimanya SP3 penyedia tidak melakukan penyetoran ke kas Negara, maka KPA menyerahkan pengurusan piutang negara kepada PUPN melalu KPKNL setempat dengan tembusan kepada KPPN.
Setoran pengembalian ke kas Negara atas penyetoran oleh penyedia atau pencairan klaim jaminan pemeliharaan kepada penjamin, dilakukan sebagai berikut :
i. Penyetoran pengembalian yang dilakukan pada tahun anggaran berjalan, dibukukan sebagai pengembalian belanja menggunakan Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) dengan kode akun belanja yang bersangkutan; atau
ii. Penyetoran pengembalian yang dilakukan pada tahun anggaran berikutnya, dibukukan sebagai penerimaan kembali belanja tahun anggaran yang lalu (akun 42395x) menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP).
3. Cara penggunaan retensi untuk membiayai perbaikan ketika terjadi pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan
Berdasarkan berakhirnya masa pemeliharaan, kontrak konstruksi dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
a. Pekerjaan konstruksi yang masa pemeliharaannya berakhir di tahun anggaran yang sama dengan masa pelaksanaan pekerjaan konstruksinya.
Diilustrasikan pada gambar 1 di bawah, suatu kontrak konstruksi yang ditanda-tangani oleh PPK dan penyedia pada 3 Februari 202x telah dilakukan PHO pada tanggal 30 Agustus 202x. Masa pemeliharaan yang ditentukan dalam kontrak adalah selama 4 bulan sejak tanggal PHO hingga Desember 202x. Masa pemeliharaan dan masa pelaksanaan pekerjaan berada di tahun anggaran yang sama.
Pada kondisi ini, PPK telah melakukan pembayaran sebesar 95% dari nilai kontrak dan menahan uang retensi sebesar 5%, hingga penyedia menyelesaikan kewajiban sampai dengan akhir masa pemeliharaan.
Gambar 1 pekerjaan dengan masa pemeliharaan di TA yang sama
Dalam hal terjadi pemutusan kontrak pada kondisi ini, maka PPK dapat menggunakan uang retensi yang ditahan untuk melakukan perbaikan atas kerusakan yang terjadi pada masa pemeliharaan. Sebagaimana diilustrasikan pada gambar 2 di bawah, pemutusan kontrak terjadi pada bulan oktober 202x.
Untuk penggunaan uang retensi dilakukan sebagai berikut :
1) PPK mengajukan surat permintaan pembatalan data kontrak terhadap sisa kontrak yang belum dibayarkan berdasarkan surat pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK, kepada KPPN. Permohonan tersebut didasarkan atas pemutusan kontrak sepihak yang dilakukan oleh PPK. Hal ini disebabkan karena alokasi dana yang sudah tercatat dan terikat dengan perjanjian/ kontrak tidak dapat digunakan lagi untuk kebutuhan lain.
2) KPPN akan melakukan reviuw atas kesesuaian surat permintaan pembatalan data kontrak dengan data kontrak yang telah tercatat pada SPAN. Berdasarkan hasil reviuw, informasi pembatalan data kontrak yang telah dilakukan KPPN akan disampaikan kepada satker.
3) PPK dapat menunjuk penyedia lain untuk melakukan perbaikan. Apabila bentuk dan nilai perikatan dengan penyedia baru berupa SPK atau surat perjanjian, maka hal tersebut wajib didaftarkan kembali ke KPPN untuk dicatat dalam kartu pengawasan kontrak yang baru.
4) Selanjutnya PPK dapat mengajukan pembayaran atas prestasi pekerjaan yang telah dicapai oleh penyedia yang telah melaksanakan pekerjaan perbaikan pada masa pemeliharaan tersebut menggunakan mekanisme pembayaran LS.
5) Apabila nilai pekerjaan perbaikan s.d Rp 50.000.000,- maka PPK dapat memilih pembayaran LS non kontraktual dengan mengajukan SPM-LS Non kontraktual atau menggunakan mekanisme pembayaran Uang Persediaan (UP) yang dikelola bendahara pengeluaran.
Gambar 2 ilustrasi pemutusan kontrak dengan masa pemeliharaan yang berakhir pada TA yang sama
b. Pekerjaan konstruksi yang masa pemeliharaannya melewati tahun anggaran
Diilustrasikan pada gambar 3 di bawah, suatu kontrak konstruksi yang ditanda- tangani oleh PPK dan penyedia pada awal Maret 202x telah dilakukan PHO pada tanggal 30 September 202x. Masa pemeliharaan yang ditentukan dalam kontrak adalah selama 6 bulan sejak tanggal PHO hingga Maret tahun anggaran berikutnya. Akhir masa pemeliharaan melewati tahun anggaran.
Pada kondisi ini, PPK telah melakukan pembayaran sebesar 100% dari nilai kontrak setelah menerima surat jaminan pemeliharaan dari penyedia.
Gambar 3 pekerjaan dengan masa pemeliharaan melewati TA
Pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan yang melewati tahun anggaran dapat terjadi sebagai berikut;
1) Pemutusan kontrak terjadi pada bulan di tahun anggaran yang sama; atau
2) Pemutusan kontrak terjadi pada bulan di tahun anggaran berikutnya.
Gambar 4 ilustrasi pemutusan kontrak dengan masa pemeliharaan melewati TA
Ketika terjadi pemutusan kontrak pada kedua kondisi diatas, perlakuan surat jaminan pemeliharaan yang telah dicairkan, wajib disetorkan sebagai pengembalian ke kas Negara.
1) Pemutusan kontrak terjadi pada bulan di tahun anggaran yang sama
Pemutusan kontrak pada kondisi 1 dalam gambar 4 di atas, Penyetoran pengembalian yang dilakukan pada tahun anggaran berjalan, dibukukan sebagai pengembalian belanja. Pengembalian tersebut dapat digunakan kembali oleh satker setelah dilakukan penyesuaian sisa pagu DIPA.
Adapun proses penggunaan setoran pengembalian yang akan digunakan kembali untuk membiayai pengeluaran perbaikan adalah sebagai berikut :
a). KPA melakukan penyesuaian sisa pagu DIPA berdasarkan setoran pengembalian sebagaimana diatur dalam Perdirjen Perbendaharaan nomor PER-1/PB/2013, dilakukan dengan cara :
i. KPA menerima bukti penerimaan Negara atas penyetoran pengembalian dan melakukan konfirmasi ke KPPN untuk memastikan setoran dimaksud telah dibukukan pada kas Negara serta melakukan penyesuaian sisa pagu DIPA. Penyesuaian sisa pagu DIPA dilakukan dengan cara menambah sisa pagu DIPA dengan sebesar nilai setoran pengembalian belanja. Penyesuaian sisa pagu DIPA dilakukan pada Satker dan KPPN.
ii. KPPN menyampaikan pemberitahuan kepada KPA atas penyesuaian sisa pagu DIPA satker berkenaan setelah dilakukan verifikasi kebenaran atas setoran pengembalian belanja ke kas Negara dan atas dasar Berita Acara Penyesuaian Sisa Pagu DIPA yang telah disahkan Kepala KPPN.
iii. KPA menyampaikan surat pemberitahuan tersebut kepada PP-SPM dan PPK agar hal tersebut dapat digunakan kembali untuk keperluan perbaikan.
b). PPK dapat melakukan perbaikan dengan menunjuk penyedia lain. Apabila bentuk dan nilai perikatan dengan penyedia baru berupa SPK atau surat perjanjian, maka hal tersebut wajib didaftarkan kembali ke KPPN untuk dicatat dalam kartu pengawasan kontrak yang baru.
i. PPK mengajukan pembayaran atas prestasi pekerjaan penyedia dengan mekanisme pembayaran LS.
ii. Apabila nilai pekerjaan perbaikan s.d Rp 50.000.000,- maka PPK dapat memilih pembayaran LS non kontraktual dengan mengajukan SPM-LS Non kontraktual atau menggunakan mekanisme pembayaran Uang Persediaan (UP) yang dikelola bendahara pengeluaran.
2) Pemutusan kontrak terjadi pada bulan di tahun anggaran berikutnya
Setoran pengembalian atas pencairan surat jaminan pemeliharaan saat terjadi pemutusan kontrak pada kondisi 2 dalam gambar 4 di atas tidak dapat digunakan kembali oleh satker Non Badan Layanan Umum (BLU) untuk melakukan perbaikan. KPA dapat mengalokasikan pada DIPA untuk melakukan perbaikan tersebut melalui mekanisme revisi DIPA.
Sanksi berupa penyetoran atau pencairan klaim jaminan pemeliharaan pada dasarnya adalah jenis penerimaan pengembalian anggaran yang merupakan penerimaan Negara bukan pajak. Pada prinsipnya seluruh jenis PNBP wajib disetor langsung ke Kas Negara.
Secara umum berdasarkan sifatnya, PNBP dibagi menjadi PNBP yang bersifat umum yang ada di setiap Kementerian/Lembaga (K/L) yang tidak terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi K/L, salah satu diantaranya adalah PNBP yang berasal dari pengembalian belanja tahun yang lalu. PNBP ini tidak dapat digunakan secara langsung oleh K/L. Selanjutnya adalah PNBP yang berasal dari penerimaan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsi K/L atau PNBP yang bersifat fungsional. Penggunaan PNBP ini diatur dengan peraturan pemerintah dan dapat dipergunakan setelah mendapat ijin persetujuan dari Kementerian Keuangan.
Sehingga sangat sulit bagi satker Non BLU untuk langsung menggunakan pencairan surat jaminan pemeliharaan yang merupakan PNBP tersebut untuk membiayai suatu kegiatan perbaikan dalam hal pemutusan kontrak terjadi.
Dalam PMK nomor 92/PMK.05/2011 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum dijelaskan bahwa belanja Satker BLU mencakup belanja yang didanai dari APBN Rupiah Murni dan PNBP BLU. Pola anggaran fleksibel diberlakukan untuk belanja yang bersumber dari pendapatan BLU yang bersumber dari : penerimaan anggaran APBN, pendapatan jasa layanan, hibah, hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya, termasuk dari pendapatan yang tidak berhubungan langsung dengan tugas pokok dan fungsi BLU.
Apabila pemutusan kontrak satker BLU yang berasal dari PNBP BLU, maka pencairan surat jaminan pemeliharaan tidak perlu disetor ke rekening kas Negara dan dapat langsung digunakan untuk melakukan perbaikan. Namun bila kontrak tersebut berasal dari Rupiah Murni maka pencairan surat jaminan pemeliharaan harus disetorkan langsung ke kas Negara dan tidak dapat digunakan untuk melakukan perbaikan.
Penggunaan uang pencairan surat jaminan pemeliharaan bagi kontrak satker BLU yang berasal dari PNBP BLU, dikelola dan digunakan langsung melalui mekanisme pengelolaan BLU.
Kesimpulan
1) PPK dan penyedia dapat menyepakati mengenai nilai potongan retensi terhadap nilai pembayaran prestasi pekerjaan sebagai jaminan pemeliharaan pekerjaan dalam klausul kontrak.
2) Pembayaran uang retensi dibayarkan setelah penyedia menyelesaikan kewajibannya hingga masa pemeliharaan berakhir yang ditandai dengan FHO. Apabila masa pemeliharaan tersebut berakhir pada tahun anggaran berikutnya yang menyebabkan retensi tidak dapat dibayarkan, maka uang retensi dapat dibayarkan pada saat PHO setelah penyedia menyampaikan surat jaminan pemeliharaan senilai uang retensi kepada PPK.
3) Proses penyelesaian surat jaminan pemeliharaan atas pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan dilakukan dengan cara penyetoran dan pencairan klaim jaminan ke rekening kas Negara.
4) Cara penggunaan retensi untuk membiayai perbaikan ketika terjadi pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan dilakukan sebagai berikut
a. Terhadap Pekerjaan konstruksi yang masa pemeliharaannya berakhir di tahun anggaran yang sama dengan masa pelaksanaan pekerjaan konstruksinya, PPK pengajuan permohonan pembatalan terhadap sisa kontrak yang dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak terlebih dahulu ke KPPN.
PPK menunjuk penyedia lain untuk melakukan perbaikan dan membayar atas prestasi pekerjaan dengan mekanisme pembayaran LS dan UP bergantung pada nilai dan bentuk kontraknya. Penggunaan uang retensi dilakukan melalui mekanisme pengajuan SPM pembayaran (LS atau UP) ke KPPN.
b. Terhadap pekerjaan konstruksi dengan masa pemeliharaan melewati tahun anggaran terdapat 2 kondisi sebagai berikut :
i. Dalam hal pemutusan kontrak terjadi pada bulan di tahun anggaran yang sama, maka penggunaan retensi yang disetorkan ke rekening kas negara dilakukan dengan melakukan penyesuaian sisa pagu DIPA atas setoran pengembalian (pencairan surat jaminan pemeliharaan) terlebih dahulu.
Selanjutnya PPK menunjuk penyedia lain untuk melakukan perbaikan dan membayar atas prestasi pekerjaan dengan mekanisme pembayaran LS dan UP bergantung pada nilai dan bentuk kontraknya. Penggunaan uang retensi dilakukan melalui mekanisme pengajuan SPM pembayaran (LS atau UP) ke KPPN ;
ii. Dalam hal pemutusan kontrak terjadi pada bulan di tahun anggaran berikutnya, maka retensi yang disetorkan ke rekening kas negara tidak dapat digunakan kembali oleh satker. KPA dapat mengalokasikan pada DIPA untuk melakukan perbaikan tersebut melalui mekanisme revisi DIPA.
Bagi satker BLU, apabila sumber pembiayaan kontrak berasal dari PNBP BLU, maka penggunaan uang pencairan surat jaminan pemeliharaan dikelola dan digunakan langsung melalui mekanisme pengelolaan BLU.
REFERENSI
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
2) Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang telah diubah dengan PP nomor 74 tahun 2012
3) Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
4) Peraturan LKPP Nomor 9 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia
5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia
6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Sebelum Barang/Jasa Diterima
7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.05/2011 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum
8) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-58/PB/2013 tentang Pengelolaan Data Supplier dan Data Kontrak dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggara Negara
9) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-1/PB/2013 tentang Tata Cara Penyesuaian Sisa Pagu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Satuan Kerja Atas Setoran Pengembalian Belanja.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik