home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Pelatihan Jarak Jauh
Pelatihan Klasikal
Open Class
BDK Podcast Mappakoe
Dashboard Pelatihan
Kalender Pembelajaran
Pojok Keuangan BDK Makassar
PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN ANGGARAN DESA
Balai Diklat Keuangan Makassar
Selasa, 19 Desember 2023 07:45 WIB
Oleh: Heru Cahyono, Widyaiswara Ahli Madya Kementerian Keuangan *)
Sesuai amanat UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, tiap-tiap tahun Pemerintah telah menggelontorkan dana transfer ke desa yang populer dengan sebutan Dana Desa. Besarnya Dana Desa cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan penyaluran Dana Desa tersebut diikuti dengan peningkatan rata-rata dana yang diterima oleh desa. Di tahun 2018 rata-rata per desa menerima dana transfer sebesar Rp. 800,4 juta meningkat menjadi Rp. 907,0 juta per desa di tahun 2022.
Kebijakan penggunaan Dana Desa sejak tahun 2020, diarahkan untuk penanganan pandemi Covid-19, sekaligus juga diprioritaskan untuk pembiayaan jaring pengaman sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT) Desa. Selain itu juga untuk mendukung pemulihan ekonomi masyarakat pedesaan.
Dengan berakhirnya pandemi Covid-19, tentunya perlu dilakukan penyesuaian kebijakan terkait penggunaan Dana Desa. Tujuan awal Dana Desa adalah agar desa mempunyai sumber pendapatan yang memadahi untuk mendanai kewenangan yang diberikan sesuai UU No 6 tahun 2014. Tulisan ini akan mengulas arah kebijakan dana desa, setelah meredanya pandemi Covid-19.
Kebijakan Dana Desa Selama Pandemi
Sejak penyebaran Covid-19 dinyatakan sebagai global pandemic oleh WHO tanggal 11 Maret tahun 2020, Pemerintah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat dengan Perpres No 11 Tahun 2020. Disusul dengan penerbitan Perpres No. 12 Tahun 2020 yang menetapkan bencana non alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional di Indonesia. Dengan penetapan ini landscape kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan berubah drastis. Segenap sumber daya negara difokuskan untuk menanggulangi penyebaran Covid-19 dan menangani akibat yang ditimbulkan.
Pandemi global berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Menurut catatan BPS jumlah penduduk miskin di pedesaan selama kurun waktu Maret sampai dengan September 2020 bertambah dari 15,26 juta menjadi 15,51 juta orang. Aktivitas ekonomi turun drastis akibat Pemerintah menerapkan lock down dengan terbitnya Peraturan Presiden No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal 31 Maret 2020.
Dalam kaitan pengelolaan Dana Desa, Pemerintah melakukan penyesuaian arah kebijakan Dana Desa yang dikenal dengan istilah refocusing anggaran. Kebijakan penyaluran Dana Desa disesuaikan, diarahkan untuk penanggulangan dan penanganan masalah sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sejak dinyatakan sebagai bencana non alam di tahun 2020, Dana Desa dialokasikan untuk BLT sebesar 35%. Program lain untuk menahan penurunan daya beli masyarakat pedesaan adalah Padat Karya Tunai Desa (PKTD). Program-program ini sebagai bantalan bagi warga desa akibat pandemi.
Upaya meredam dampak sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 terus berlanjut di tahun anggaran 2022. BLT yang dialokasikan melalui Dana Desa terus meningkat, alokasinya mencapai 40%. Bahkan Desa yang mengalokasikan BLTnya kurang dari 40% dikenai sanksi, berupa pengurangan alokasi Dana Desa. Selain BLT, Dana Desa juga diarahkan untuk mendanai program ketahanan pangan di pedesaan paling sedikit 20% dan dukungan penanganan Covid-19 minimal sebesar 8%.
Berbagai kebijakan selama pandemi Covid-19 tersebut mampu menopang kondisi sosial ekonomian pedesaan. Agar tidak jatuh pada situasi yang lebih buruk. Namun demikian, kebijakan Pemerintah tersebut telah mengurangi ruang fleksibilitas desa dalam mengeksekusi kegiatan pembangunan yang sudah direncanakan jauh-jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Seiring dengan membaiknya kondisi, Pemerintah telah menetapkan arah baru kebijakan penggunaan Dana Desa tahun 2023. Mengutip Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No 8 Tahun 2022, prioritas penggunaan Dana Desa Tahun 2023 dapat di kelompokkan ke dalam 3 klaster. Klaster pertama, penggunaan Dana Desa untuk pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa. Pada klaster ini Dana Desa diprioritaskan untuk: (1) Pendirian, pengembangan dan peningkatan kapasitas pengelolaan Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDes/BUMDesma); (2) Pengembangan Desa Wisata; (3) Pengembangan usaha ekonomi produktif yang diutamakan dikelola oleh BUMDes/BUMDesma.
Klaster kedua, program yang termasuk kategori prioritas nasional sesuai kewenangan desa. Pada klaster ini Dana Desa diprioritaskan untuk; (1) Perbaikan dan konsolidasi data SDGs Desa serta pendataan perkembangan desa melalui indeks desa membangun; (2) Ketahanan pangan dan hewani; (3) Pencegahan dan penurunan stunting; (4) Peningkatan kualitas sumber daya manusia warga desa; (5) Peningkatan keterlibatan masyarakat secara menyeluruh dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa; (6) Perluasan akses layanan kesehatan sesuai kewenangan desa; (7) Dana operasional pemerintah desa maksimal 3% dari pagu Dana Desa di setiap desa; (8) Penanggulangan kemiskinan terutama kemiskinan ekstrem setiap desa; dan (9) BLT Dana Desa yang difokuskan untuk mendukung percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Klaster ketiga, dana desa digunakan untuk mitigasi bencana alam maupun non alam.
Arah Baru Kebijakan Dana Desa
Melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Rincian Prioritas Penggunaan Dana Desa, penggunaan dana desa diprioritaskan untuk mendanai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dengan cara percepatan pencapaian tujuan SDGs desa. Prioritas penggunaan dana desa ditujukan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat desa dalam rangka; peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia, serta penanggulangan kemiskinan.
Prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan masyarakat desa dilaksanakan melalui:
Sedangkan prioritas penggunaan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat desa dilaksanakan melalui:
Prioritas penggunaan dana desa dilaksanakan melalui swakelola dengan mendayagunakan sumber daya lokal desa, diutamakan menggunakan pola padat karya tunai desa (PKTD) dan dialokasikan untuk upah pekerja paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari dana kegiatan padat karya tunai desa.
Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Desa
Perubahan arah kebijakan penggunaan dana desa pasca pandemi covid-19, membawa harapan baru bagi akselerasi pembangunan di pedesaan. Dana desa dan transfer lainnya dari pemerintah supra desa, dikembalikan pada rel yang sebenarnya yaitu untuk mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat desa yang sejahtera dan mandiri. Namun demikian ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan secara serius oleh berbagai kalangan atau lembaga. Salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kualitas pengelolaan anggaran di desa. Peningkatan kualitas pengelolaan anggaran di desa ini sangat penting dalam mendorong percepatan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Salah satu upaya yang urgen untuk dilakukan dalam upaya memperbaiki pengelolaan anggaran di desa adalah bagaimana meningkatkan kualitas belanja pemerintah desa. Transfer dana dari pemerintah supra desa yang terus meningkat, tidak akan banyak berarti jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas belanja pemerintah desa. Pertanyaannya, belanja desa seperti apakah yang bisa dikatakan berkualitas. Menurut Profesor Bambang Juanda, belanja desa yang berkualitas adalah belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan desa yang dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan dan akuntabel.
Merujuk pada definisi tersebut, salah satu dimensi yang merefleksikan kualitas belanja adalah penetapan prioritas pembangunan desa. Penetapan prioritas pembangunan desa ini menjadi variabel kunci yang akan mempengaruhi signifikansi dimensi-dimensi yang lain dalam merefleksikan belanja desa yang berkualitas. Ada semacam efek domino dari dimensi penetapan prioritas ke dimensi yang lain. Misalnya besarnya alokasi belanja pada bidang atau jenis belanja tertentu tidak akan mencerminkan kualitas belanja, jika penetapan prioritas pembangunan desanya tidak tepat. Begitupun dengan efektifitasnya, manakala penetapan prioritas pembangunan desa tidak akurat, maka sasaran pembangunan desa tidak efektif .
Setidaknya ada tiga indikator yang bisa digunakan untuk mengukur seberapa kuat dimensi penetapan prioritas akan mampu mencerminkan belanja desa yang berkualitas. Pertama, apakah prioritas pembangunan desa yang disepakati atau ditetapkan di dalam dokumen perencanaan pembangunan desa relevan dengan persoalan riel warga desa. Kedua, apakah prioritas pembangunan desa yang ditetapkan sejalan dengan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah supra desa. Dan yang ketiga, apakah prioritas pembangunan desa yang sudah disepakati dan dituangkan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan desa secara konsisten dilaksanakan melalui APBDes.
Dalam siklus anggaran, penetapan prioritas pembangunan desa berada pada tahap perencanaan. Pada tahap ini ada interaksi antara proses teknokratis dan proses “politis”. Proses teknokratis dalam perencanaan pembangunan, memerlukan kajian yang bersifat akademik dalam memetakan persoalan-persoalan riel masyarakat desa. Ukuran-ukuran yang obyektif perlu dikembangkan, dengan mengkuantitatifkan hal yang bersifat kualitatif. Data kuantitatif untuk memetakan kondisi desa sangat diperlukan.
Data menjadi isu penting dan strategis dalam upaya memperbaiki kualitas perencanaan pembangunan desa. Ketersediaan data yang mampu menggambarkan potensi maupun problematika pedesaan sangat diperlukan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik