home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Menggagas Bentuk Birokrasi 4.0
Sekretariat Badan
Selasa, 8 Januari 2019 01:58 WIB
Oleh Siko Dian Sigit Wiyanto
Dunia sudah memasuki era revolusi industri 4.0 yang merupakan kelanjutan revolusi industri 3.0. Revolusi industri 1.0 dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt pada Abad 17 di Inggris. Revolusi industri saat itu benar-benar mengubah sistem ekonomi dan bahkan tata sosial di Britania Raya sampai Eropa. Eropa sebelumnya masih bertumpu pada sektor pertanian dengan tenaga manusia dengan produktivitas rendah. Setelah revolusi industri, Eropa menjadi benua dengan peradaban maju sampai sekarang. Menurut pendapat penulis, sebenarnya agak kurang tepat jika industri 4.0 adalah tranformasi digital. Pasalnya, digitalisasi proses bisnis sudah ada sejak era 3.0 sejak ditemukannya internet. Saat itu proses komunikasi melalui email dan chatting sudah dijalankan selain berbagai sistem aplikasi sudah ditemukan untuk memudahkan berbagai pekerjaan administrasi sampai komputasi. Selain itu, sebagian besar perusahaan terkemuka sudah memiliki laman/website sendiri, tak ketinggalan pula instansi-instansi pemerintah.
Industri 4.0 pada dasarnya berdampak pada tiga aspek yakni Internet of Things (IoT), artificial intelegence (AI) dan manajemen big data. Implementasi IoT antara lain: media sosial, e-commerce, aplikasi transportasi dan jasa-jasa lain melalui online. Sedang penerapan AI antara lain penggunaan chat bot pada customer service, kendaraan umum tanpa pengemudi sampai robot-robot pembantu. Sedangkan penerapan manajemen big data pada riset customer behaviour oleh beberapa perusahaan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Pada intinya, revolusi 4.0 bertujuan meningkatkan efisiensi proses sehingga suatu bisa lebih cepat, output lebih banyak, dan tentu saja, lebih mudah.
Pemerintahan atau birokrasi pun cepat atau lambat akan terkena dampaknya. Jika perubahan tidak segera diinisiasi dari dalam, tuntutan masyarakat akan mendorongnya. Digitalisasi proses bisnis-meski tidak sepenuhnya-sudah mulai tumbuh sejak 2007 ketika era reformasi birokrasi pertama kali diimplementasikan. Kementerian Keuangan saat itu dipimpin Sri Mulyani Indrawati menjadi instansi pemerintah yang memprakarsai sekaligus menjadi pilot project reformasi birokrasi.
Hingga kini, hampir seluruh Kementerin/Lembaga juga tengah menjalankan reformasi birokrasi. Dalam buku Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan, model reformasi birokrasi terdiri dari penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis dan, peningkatan disiplin serta manajemen PNS. Sedangkan tujuan utama reformasi birokrasi adalah kepercayaan publik. Kini reformasi birokrasi sudah diikuti oleh sebagian besar instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Reformasi birokrasi sudah berhasil meningkatkan layanan kepada publik. Berbagai layanan unggulan atau quick win berhasil dicanangkan oleh berbagai instansi layanan di Kementerian, Lembaga, atau Pemerintah Daerah. Lebih dari itu, kepercayaan publik kepada pemerintah sebagai tujuan utama reformasi birokrasi sudah tercapai. Indikatornya adalah kenaikan indeks kepercayaan publik kepada pemerintah. Hal ini ditunjukkan dari riset Edelman yang dilansir melalui Katadata.co.id. Pada 2012 indeks kepercayaan publik kepada Pemerintah masih mencapai 36%, dan pada 2018 indeks tersebut berhasil meraih angka 73%. Sungguh pencapaian yang membanggakan.
Reformasi birokrasi membawa modernisasi di Kementerian Keuangan. Suatu kantor pelayanan yang sebelumnya berisi lebih dari 100 pegawai bisa dipangkas hanya dengan kurang dari 50 pegawai untuk sebuah kantor pelayanan modern. Penggunaan berbagai sistem informasi mendorong efisiensi seperti sumber daya manusia, alat tulis kantor, dan tentu saja waktu. Publik juga lebih puas karena waktu antrean tidak perlu lama-lama, dan menghemat uang untuk tidak pakai calo karena layanan berbagai instansi pemerintah sekarang tidak lagi ribet.
Meski demikian, bukan berarti publik dijamin akan terus puas dengan pencapaian pemerintah saat ini. Penerapan e-government pun belum sepenuhnya dijalankan. Di berbagai unit pelayanan pemerintah, publik masih banyak menggunakan kertas dan fotokopi untuk mendapatkan layanan. Selain itu, komunikasi internal di dalam suatu satuan kerja yang merupakan unit kerja terkecil pada sebuah instansi pun kerap masih membutuhkan naskah dinas dengan kertas yang kadang membuat pegawai pelaksana menghabiskan waktu untuk mengoreksi nota dinas tersebut hanya karena kesalahan minor, misalnya margin yang tidak sesuai.
Masalah lain yang sekarang masih menjadi kendala adalah sebuah informasi tidak segera dapat diambil karena sistem informasi tidak terintegrasi satu sama lain. Itu belum lagi proses koordinasi dan komunikasi yang tidak efisien. Sebagai contoh butuh rapat berkali-kali untuk membuat sebuah keputusan. Selain itu, pegawai kadang butuh ke kantor setelah tugas di luar karena sekali lagi, naskah dinas harus dalam bentuk kertas yang dicetak untuk disampaikan kepada atasan. Di sisi lain, perjalanan dari tempat tugas ke kantor juga butuh waktu. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di mana saja daripada waktu habis di tengah kemacetan, apalagi di Ibu Kota.
Transformasi birokrasi 4.0 dapat disesuaikan dengan fase reformasi birokrasi yang pernah dijalankan. Tranformasi birokrasi 4.0 ini sebenarnya adalah bentuk lain dari reformasi birokrasi yang terus berkesinambungan. Pertama mari kita lihat pada penataan organisasi. Mindset yang harus dikembangkan adalah organisasi bertujuan untuk membuat output, bukan memperpanjang proses. Dengan demikian, adanya semangat minim struktur dan kaya fungsi suatu organisasi bisa membuat suatu output dapat dikerjakan lebih cepat. Prasyaratnya adalah percepatan pembentukan berbagai jabatan fungsional.
Aparatur negara harus memiliki spesialisasi teknis untuk meningkatkan layanan kepada para pemangku kepentingan. Dengan demikian, memperbanyak jabatan fungsional dengan pembentukan gugus tugas untuk penyelesaian suatu proyek dapat memotong rantai birokrasi yang selama ini kerap dikeluhkan.
Kedua adalah penyempurnaan proses bisnis. Tanpa adanya komunikasi internal, tidak ada proses bisnis yang berjalan. Komunikasi internal formal dalam suatu satuan kerja saat ini masih menggunakan paper printed. Penggunaan paper printed ini lekat kaitannya dengan kekuatan hukum dan pengendalian internal. Dengan penggunaan sistem aplikasi khusus bahkan mobile based, aplikasi untuk memberikan arahan, menyatakan sikap, memberikan keputusan, atau koordinasi yang melibatkan unit-unit dalam suatu satuan kerja sangat dimungkinkan. Implementasi sistem ini tentu saja mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta peraturan perundang-undangan pelaksanaannya. Bayangkan jika kita bisa membuat konsep naskah dinas dengan gadget di mana saja, praktis bukan? Banyak waktu yang bisa direalokasikan untuk fokus pada output organisasi.
Ketiga adalah masalah disiplin dan manajemen PNS. Isu paling hangat adalah masalah jam kerja. Jika dikatakan bahwa jam kerja adalah proxy kinerja mungkin ada benarnya. Tapi pegawai yang masuk jam kerja, tidak pernah telat atau pulang cepat tidak jadi jaminan berkinerja. Price Waterhouse Cooper (PWC) merilis hasil survei dari 10 ribu orang di Asia, Eropa, Inggris dan Amerika Serikat tentang dunia kerja di masa depan. Salah satu hasilnya adalah generasi millennial menginginkan fleksibilitas lebih besar seperti bekerja dari luar kantor dengan bantuan teknologi. Ini sangat memungkinkan jika pekerjaannya bukan terkait dengan pelayanan langsung.
Jam kerja yang rigid memang penting untuk unit kerja yang melakukan pelayanan langsung seperti di rumah sakit, kantor pelayanan administrasi serta sentra-sentra pelayanan lainnya. Meski demikian, untuk kantor yang fungsinya sebagai back office, jam kerja yang rigid bisa jadi malah kontra produktif dengan output yang diharapkan.
Seiring dengan semangat worklife balance dan pengarusutamaan gender, jam kerja yang lebih fleksibel menjadi tuntutan di industri 4.0, khususnya bagi pekerja wanita dengan status ibu dengan anak balita. Segala hambatan yang sebelumnya mengharuskan pertemuan tatap muka dalam bekerja sekarang sudah bisa diatasi dengan teknologi. Seorang pegawai seharusnya tidak perlu harus ke kantor hanya untuk membuat suatu konsep pekerjaan atau sekedar mengetik sebuah naskah dinas. Prasyaratnya adalah berkas-berkas sudah didigitalkan dalam komputasi awan. Sebagai bagian dari reformasi birokrasi, diberikan punishment dan reward bagi para pegawai dengan bentuk tunjangan kinerja seharusnya berdasarkan output kinerja pegawai sesuai dengan kontrak kinerjanya dan tidak dipotong dengan potongan absen. Dengan demikian, stress pegawai akibat kemacetan di jalan pun dapat dihindari dan kinerjanya diharapkan bisa meningkat.
Siko Dian Sigit WiyantoPranata Humas Ahli PertamaBiro Komunikasi dan Layanan InformasiSekretariat JenderalKementerian Keuangan
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, bukan representasi tempat penulis bekerja
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik