home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Media Sosial, Ujian ASN Bersikap Netral di Tahun Politik
Sekretariat Badan
Jumat, 1 Maret 2019 06:51 WIB
Pemilihan presiden dan legislatif 2019 memang baru akan berlangsung bulan April mendatang. Namun dampak yang diakibatkan sudah dapat dirasakan oleh masyarakat. Bukan hanya akhir-akhir ini saja, bahkan jauh sebelum para calon resmi mendeklarasikan dirinya dan pasangannya. Persaingan sudah terjadi di antara para pendukung, baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. Persaingan tersebut bentuknya berbagai macam. Ada yang berupa dukungan positif dan kreatif, namun tidak jarang ditemukan dukungan yang berbau negatif. Salah satu bentuk dukungan negatif yang sering ditemui saat ini adalah hoaks yang menyebar di masyarakat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks diartikan sebagai “berita bohong”. Dalam konteks ini, hoax yang terjadi biasanya digunakan untuk menyerang dan menjatuhkan salah satu calon yang berseberangan, atau sering disebut ‘black campaign’. Hoaks tersebut biasanya disebarkan melalui berbagai media sosial seperti facebook, instagram, twitter,dll maupun media online. Patut diduga, suburnya penyebaran hoaks tersebut terjadi setidaknya karena dua hal. Pertama, banyak masyarakat yang malas mengklarifikasi berita sehingga informasi yang beredar langsung dimakan mentah-mentah, atau langsung disebarkan ke pihak lain. Kedua, karena fanatisme terhadap salah satu calon tertentu sehingga mengesampingkan unsur kebenaran dari sebuah berita.
Di tengah kondisi tersebut, ASN hadir sebagai elemen yang memiliki peranan yang cukup unik. Saya bilang unik karena meskipun memiliki hak pilih dalam pemilu, namun ASN diwajibkan untuk tetap bersikap netral. Berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pasal 2 huruf f menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah "netralitas". Asas netralitas ini berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Sikap netral ini harus dicerminkan ASN dalam sikap dan perilaku sehari-hari, termasuk saat beraktifitas di media sosial. Apalagi, aktivitas seorang ASN terkadang tidak hanya dikaitkan dengan pribadinya sendiri. Seringkali kesalahan yang dilakukan oleh oknum individu dikaitkan dengan tempatnya bekerja sehingga dapat berdampak buruk bagi citra instansi ASN yang bersangkutan. Meskipun sebenarnya, tentu saja itu adalah tanggung jawab ASN itu sendiri.
Memperkuat Pengawasan Internal
Kewajiban untuk tetap bersikap netral dalam pemilu memang mutlak harus ditaati oleh setiap ASN di negeri ini. Bagi yang melanggar, dapat diganjar dengan sanksi yang telah dalam undang-undang. Sanksi tersebut bermacam-macam bentuknya sesuai dengan tingkat pelanggaran yang terjadi. Mulai dari sanksi moral, hingga sanksi administratif yang berupa hukuman disiplin ringan maupun berat.
Keberadaan sanksi tersebut tidak secara otomatis membuat ASN serta merta patuh. Beberapa oknum ASN (setidaknya menurut pengamatan penulis) masih kurang mencerminkan sikap netral. Pelanggaran tersebut kebanyakan terjadi di media sosial maupun media online. Misalnya saja, seorang ASN membuat status atau memberikan komentar yang berbau politik di media sosial. Atau malah bahkan ikut membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya, dan berpotensi menjadi hoaks.
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik PNS Pasal 11 huruf C telah menerangkan bahwa PNS (ASN) wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Lebih lanjut, surat Menpan nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 27 Desember 2017 menjelaskan bahwa PNS dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto calon dan pasangan, serta visi misi calon terkait melalui media online maupun media sosial.
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran tersebut. Pertama, dengan memberikan informasi yang memadai mengenai kewajiban ASN untuk berlaku netral. Sebagian ASN yang melanggar mungkin tidak sengaja karena masih belum mengerti terhadap batasan dari ‘netralitas’ itu sendiri. Tindakan memberikan komentar atau sekedar memberikan like pada sebuah status yang berbau politik mungkin dipahami sebagian ASN sebagai tindakan yang wajar dan tidak dilarang.
Kedua, mengoptimalkan peran dan fungsi unit kepatuhan internal di unit masing-masing. Peraturan yang telah ada tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan pengawasan dan penegakan atas peraturan tersebut. Tidak adanya penindakan terhadap pelanggaran yang terjadi, akan memperbesar kemungkinan terjadinya pelanggaran yang sama.
Ketiga, pemberian fasilitas whistleblowing system kepada peer untuk melaporkan informasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan unitnya. Seringkali pada saat seorang ASN melakukan pelanggaran, rekan kerjanya segan untuk menegur meskipun sebenarnya rekan kerja tersebut merasa terganggu. Atau pada kasus lain, saat sang rekan kerja menegur ASN yang melakukan pelanggaran, yang bersangkutan malah marah dan menimbulkan konflik di tempat kerja. Hal seperti ini dapat menimbulkan tempat kerja menjadi tidak kondusif.
Adanya whistleblowing system ini dapat menjadi suatu wadah untuk memberikan kesempatan bagi peer untuk dapat ikut andil dalam pengawasan, mengingat kurang efektifnya pengawasan jika hanya dilakukan oleh unit kepatuhan internal saja. Apalagi jika harus mengawasi media sosial setiap pegawai. Tentunya, whistleblowing system ini harus disertai dengan jaminan atas kerahasiaan data diri pelapor.
Jejak Digital
Di zaman digital sekarang ini, ungkapan “Mulutmu Harimaumu” mungkin lebih tepat jika digantikan dengan “Jempolmu Harimaumu”. Jika dulu kita harus berhati-hati dengan ucapan kita, maka sekarang kita harus lebih menjaga ketikan kita di media sosal. Ucapan verbal seringkali tidak terekam, namun ketikan seseorang di media sosial bisa saja akan terus terekam, bahkan ketika tulisan tersebut telah dihapus oleh penulis. Apalagi, jika tulisan tersebut sempat diabadikan oleh orang lain.
Seringkali kita mendengar berita dimana cuitan atau komentar seseorang di screen capture dan menjadi viral di dunia maya. Media sosial memang bekerja dengan cepat. Hanya dengan hitungan detik saja, tulisan kita sudah tersebar dengan luas. Seakan-akan kita tidak diberi celah untuk melakukan kekhilafan. Jejak digital terkadang dapat menjadi bukti yang tidak terbantahkan ketika seseorang melakukan kesalahan di dunia maya.
Fakta ini harusnya membuat ASN harus lebih waspada dan berhati-hati dalam bersikap di dunia maya. ASN juga harus lebih bijak dalam menyikapi informasi yang ada di media sosial. Apalagi di tahun politik ini dimana hoaks tumbuh dengan subur. ASN juga harus tetap menjaga netralitas dirinya. Dalam konteks pilpres, tidak condong kepada salah satu kubu.
Jejak digital yang kurang baik juga bisa mempengaruhi reputasi, bahkan karir ASN ke depannya. Dalam sebuah seminar tentang media sosial yang digelar beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa jejak digital para ASN di Kementeriannya (Kemenkeu) itu menunjukkan track record dari pegawai tersebut. Digital track record tersebut bahkan bisa digunakan oleh pemimpin untuk salah satu dasar penilaian apakah pegawai yang bersangkutan, misalnya pantas untuk dipromosikan.
Tahun politik memang menjadi ujian tersendiri bagi ASN untuk bersikap netral. Godaan media sosial mungkin akan timbul untuk ikut menyuarakan pilihan mereka. Namun begitu, ASN tetap dituntut untuk selalu bersikap netral. Masuk akal memang, karena tugas ASN adalah mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, siapapun yang menang dan terpilih nanti, tugas ASN akan tetap sama, yakni melayani masyarakat.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik