home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Pola Kerja Instansi Kehumasan Era Delayering
Sekretariat Badan
Kamis, 30 Januari 2020 09:31 WIB
Unit kehumasan pemerintah saat ini pada umumnya masih menggunakan pendekatan stakeholder management dalam menyusun struktur organisasinya. Di samping itu, unit kehumasan pemerintah pada umumnya paling tinggi dipegang oleh Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama atau setingkat eselon II, baik kepala biro atau kepala pusat sedangkan di bawahnya dibagi atas unit eselon yang lebih rendah yang menangani stakeholder tertentu. Sebagai contoh unit eselon yang menangani hubungan media, perencanaan dan evaluasi program kehumasan dan layanan informasi, bagian yang menangani layanan informasi, dan bagian yang menangani hubungan kelembagaan negara.
Kelebihan struktur unit kehumasan seperti itu adalah bisa fokus pada stakeholder maintenance. Akan tetapi dari sisi efektivitas pencapaian kinerja organisasi agak banyak mengalami hambatan. Pertama, unit kehumasan tidak bisa fokus melakukan issue management secara komprehensif. Ambil contoh isu penyaluran dana desa, bagian yang menangani perencanaan dapat membuat program komunikasi program penyaluran dana desa mulai dari pemetaan stakeholder yang menjadi target audience, penentuan tujuan komunikasi, strategi komunikasi sampai action plan dari setiap strategi yang ditetapkan.
Akan tetapi, proses controlling dapat terhambat. Unit eselon yang menangani fungsi perencanaan dan evaluasi tidak cukup kuat untuk memastikan bahwa program komunikasi benar-benar berjalan seperti yang direncanakan apalagi unit eselon lain memiliki rencana kegiatan sendiri-sendiri. Di era post truth saat ini, kecepatan respon dan melakukan antisipasi menjadi bagian penting dalam keberhasilan eksekusi program komunikasi. Ini pun kita belum membahas krisis komunikasi saat waktu respon sangat genting sebelum krisis tersebut merusak citra bahkan reputasi instansi. Jika unit eselon yang menangani fungsi perencanaan perlu menyusun strategi untuk merespon krisis secara hierarkis, maka ini akan memerlukan waktu yang lama.
Delayering atau perampingan eselon sebelumnya mengemuka saat Presiden Joko Widodo membacakan pidato saat pelantikannya. Presiden mengaitkan dengan hambatan investasi yang terjadi karena perijinan terhambat karena harus melewati beberapa layer/eselon. Era industri 4.0 yang lebih mengutamakan value karena teknologi memangkas delivering cost. Di instansi pemerintah, delivering cost ini dapat diartikan sebagai cost of time. Pemerintah yang lambat, bukan berarti aparatur sipilnya tidak performed. Bisa jadi struktur instansinya yang membuatnya berjalan lambat. Lebih dari itu, waktu adalah sumber daya organisasi yang tidak reversible.
Pertanyaan yang mengemuka, bagaimana pola kerja di instansi kehumasan yang ideal seharusnya. Jawabnya, there is no silver bullet. Tidak ada pola kerja yang paling ideal. Namun dalam di era 4.0, beban kerja kehumasan pemerintah sangat fluktuatif dan unpredictable. Pola kerja birokrasi yang berlapis-lapis tidak akan mampu menghasilkan output yang optimal apalagi outcome-nya.
Organisasi swasta yang paling dapat menjadi benchmarking bagi unit kehumasan adalah Public Relation Agency. Pada umumnya PR Agency berjalan sesuai dengan issue management. Manajemen isu menurut instituteforpr.org didefinisikan sebagai proses manajemen strategi dan antisipasi untuk membantu organisasi mendeteksi dan merespon secara tepat terhadap berbagai tren yang akan muncul atau perubahan di dalam lingkungan sosial politik yang ada. Sedangkan definisi isu menurut kbbi.go.id adalah masalah yang dikedepankan (untuk ditanggapi dan sebagainya).
Unit kehumasan pemerintah pada dasarnya menjalankan manajemen isu untuk menjaga citra dan reputasi instansi. Tidak semua isu harus ditangani karena memang sumber daya terbatas. Hanya isu strategis yang patut untuk dikelola. Adapun kriteria isu strategis tersebut antara lain (1) mendapatkan perhatian dari stakeholder kunci (2) melibatkan kementerian/lembaga lain (3) menyangkut isu-isu yang selama ini dinilai sensitif seperti masalah integritas dan SARA.
Delayering sangat baik dijalankan di unit kehumasan kecuali untuk jabatan yang langsung mengelola layanan publik seperti contact center, PPID, dan perpustakaan. Terkait unit-unit tersebut, dapat dibentuk Unit Pelayanan Terpadu yang merupakan unit vertikal unit kehumasan namun pimpinannya memiliki DIPA tersendiri. Dengan kata lain, pimpinannya adalah kuasa pengguna anggaran. Unit eselon I lain juga dapat membentuk UPT serupa.
Jabatan fungsional yang diperlukan di unit kehumasan antara lain Pranata Humas, Arsiparis, Penerjemah, Pranata Keuangan, dan Pranata Komputer. Jabatan fungsional ini saling berkolaborasi dalam pekerjaan-pekerjaan yang dikelompokkan dalam sebuah proyek. Proyek ini based on issue (isu-isu strategis). Sebagai contoh isu APBN. Dibentuklah program komunikasi untuk edukasi APBN yang dimulai dari pemetaaan stakeholder, penentuan tujuan komunikasi setiap stakteholder, pembuatan strategi sampai action plan. Pesan kunci, figur yang dipilih, pemilihan channel/media, serta timeline aktivasi kegiatan yang merupakan bagian dari strategi komunikasi disusun dan dibahas oleh tim tersebut. Tim ini menjalankan A to Z program komunikasi. Dengan demikian, semua rencana action plan dari program komunikasi besar kemungkinan akan dijalankan. Efektivitas tujuan komunikasi diukur dari tercapai atau tidaknya tujuan komunikasi yang ditetapkan. Dengan demikian mazhab unit kehumasan bergeser dari manajemen stakeholder ke manajemen isu.
Sebagai contoh, dalam sebuah tim kerja terdapat:
1. Pranata Humas yang berfungsi sebagai penyusun dan orkestrator program sebagai ketua tim
2. Beberapa Pranata humas yang memiliki:
a. admin media sosial dan in-house media
b. content creator
c. keahlian komunikasi interpersonal
d. media handling
e. komunikasi langsung/below the line
3. Pranata Keuangan
4. Arsiparis
5. Penerjemah (jika diperlukan)
6. Fungsional Umum/Pelaksana yang bertugas membantu tim seperti menyusun konsep nota dinas dan kebutuhan-kebutuhan administrasi.
Seorang anggota tim dapat bekerja di lebih dari satu tim, demikian ketua tim, dapat memimpin lebih dari satu tim. Setiap pranata humas yang memiliki fungsi serupa dapat membentuk forum untuk sinkronisasi dan sharing knowledge. Hasilnya dapat didokumentasikan oleh arsiparis sebagai knowledge management. Tim ini memiliki jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan, dapat kurang dari satu tahun atau bahkan lebih. Dengan demikian, tidak ada lagi isu mutasi antarunit eselon demi tour of duty.
Dalam isu manajemen sebenarnya terdapat stakeholder management. Dalam pola organisasi yang berbasis struktural yang dibagi berdasarkan stakeholder tertentu, akan sulit melihat bagaimana sebuah isu dikelola secara komprehensif. Lebih dari itu sulit untuk mengukur efektivitas stakeholder management kecuali dengan satu indikator, indeks kepuasan stakeholder. Tapi, apakah stakeholder tersebut sudah dalam tahap awareness, interest, desire, action/participation sulit diukur. Akan sulit mengukur program komunikasi dibuat oleh sebuah tingkatan eselon benar-benar akan dijalankan sepenuhnya pada unit lain yang mengelola stakeholder tertentu.
Selain itu, dalam sebuah isu stakeholder yang terlibat perannya dapat berbeda meski komposisinya sama. Sebagai contoh, dalam isu dana desa, pemerintah daerah dan aparatur desa menjadi primary stakeholder, tapi dalam isu Pendapatan Negara Bukan Pajak, mereka menjadi secondary stakeholder. Perbedaan peran setiap isu tersebut terkadang sangat acak dan tidak pasti, oleh karena itu, beban kerja antar unit eselon yang mengelola stakeholder dapat timpang beban kerjanya. Ini pun belum bicara silo-silo antarunit eselon, padahal unit kehumasan seharusnya menjadi unit yang paling terbuka satu sama lain.
Siko Dian Sigit Wiyanto
Pranata Humas Ahli Pertama
Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan
Wakil Ketua I Ikatan Pranata Humas (Iprahumas)
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik