home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Dilema Lupa dan Kesiapan Mengikuti Penilaian Kompetensi Manajerial
Sekretariat Badan
Selasa, 7 Desember 2021 16:02 WIB
Disusun oleh Adinda Nur Salecha
Assessor SDM Aparatur Muda, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
adinda@kemenkeu.go.id
Pada suatu hari seorang abdi negara mendapati secarik surat perintah dalam kotak masuk aplikasi pekerjaannya. Di tengah kesibukan mengejar target kerja, ia ditugaskan untuk mengikuti kegiatan penilaian kompetensi manajerial. Sang abdi negara yang telah cukup senior dan telah banyak menikmati asam garam dalam bekerja, tiba-tiba dihadapkan pada satu fase di mana kompetensinya harus dinilai. Ia yakin telah bekerja dengan baik di sepanjang karirnya, namun rasa khawatir tetap saja hadir, hatinya sempat bimbang. Memanfaatkan sedikit waktu luang, ia berkenalan dengan penilaian kompetensi untuk mengobati kegelisahannya. Ia tidak ingin kalah dengan rasa gundah, ia bertekad untuk bisa melalui tahap ini dengan gagah. Ia pun membaca peraturan-peraturan tentang penilaian kompetensi, standar kompetensi jabatan, dan metode penilaian kompetensi yang banyak digunakan di instansi pemerintah. Hal ini merupakan awal yang baik bagi sang abdi negara. Ia mempelajari peraturan dengan seksama hingga tiba waktu dimana penilaian kompetensi pun terlaksana.
Penuh percaya diri sang abdi negara mengikuti penilaian kompetensi manajerial. Ia yakin akan berhasil melalui penilaian kompetensi ini karena selama ini ia telah bekerja dengan baik. Ia mengikuti setiap jenis penugasan dalam kegiatan penilaian kompetensi sesuai dengan instruksi yang diberikan. Sang abdi negara merasa tenang, ia mampu menjalaninya sebagaimana ia menunaikan tanggung jawab dalam pekerjaannya selama ini. Tersisa satu tahap lagi yang perlu diselesaikan. Ia pun dipanggil ke sebuah ruangan, di sana sudah menunggu seseorang duduk di balik meja dengan senyum yang mengembang. Sang abdi negara segera tahu bahwa ini adalah sesi wawancara, sesi terakhir dari rangkaian kegiatan penilaian kompetensi manajerial. Sesaat terasa hening dan tegang, seseorang di hadapannya segera mencairkan suasana dengan obrolan-obrolan ringan. Wawancara pun bergulir dan sang abdi negara mulai menjawab pertanyaan yang diajukan. Sedikit terburu-buru, ia sempat kehilangan kata dan lupa pada hal-hal penting yang seharusnya disampaikan. Kala itu waktu terasa berjalan cepat dan sangat terbatas. Banyak hal yang ingin sang abdi negara utarakan namun tak sempat tersampaikan.
Sejak pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) di mana disebutkan bahwa manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan sistem merit, penilaian kompetensi menjadi hal yang tidak lagi asing. Informasi terkait penilaian kompetensi semakin lengkap dengan lahirnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara. Setiap Aparatur Sipil Negara dapat membaca dan mengetahui tuntutan kompetensi pada jenjang jabatan yang diampu. Selain itu lahirnya kebijakan penilaian kompetensi nasional memperkuat pijakan bagi penyelenggaraan penilaian kompetensi bagi seluruh Aparatur Sipil Negara di seluruh Kementerian/Lembaga. Penilaian kompetensi menjadi kegiatan yang diselenggarakan secara massif dan menjangkau semua level jabatan, mulai dari pelaksana hingga jabatan pimpinan tinggi.
Setiap Aparatur Sipil Negara akan dinilai kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi jabatan masing-masing. Tidak sekarang mungkin besok, penugasan untuk mengikuti penilaian kompetensi akan datang sebagai salah satu tahapan yang akan dilalui seorang Aparatur Sipil Negara di tengah sibuknya pekerjaan. Kisah di awal tulisan ini hanyalah fiksi, namun tidak menutup kemungkinan terjadi dan dialami oleh para pegawai yang mendapatkan penugasan untuk mengikuti penilaian kompetensi manajerial. Ada sebuah nasihat bijak yang mengatakan bahwa kadang kita gagal bukan karena tidak memiliki potensi (kemampuan), tetapi karena kurangnya persiapan. Sebagian dari mereka ada yang berkesempatan untuk mempersiapkan diri misalnya dengan membaca peraturan namun sebagian lainnya mungkin tidak. Terlepas dari itu, penilaian kompetensi manajerial sangat dipengaruhi oleh bagaimana sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Persiapan menghadapi penilaian kompetensi manajerial bisa dilakukan dengan membaca peraturan-peraturan terkait. Namun lebih penting dari itu, persiapan dilakukan dengan secara kosisten melakukan/menunjukkan perilaku-perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi pada jenjang jabatan. Persiapan lain yang dapat dilakukan adalah secara rapi mendokumentasikan pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui sepanjang masa kerja. Mengapa pengalaman? Sudah menjadi kewajaran saat pengalaman kerja seseorang menjadi bagian tak terpisahkan dalam manajemen SDM, misalnya saja saat rekrutmen atau seleksi, seseorang akan diminta menuliskan pengalaman-pengalamannya. Pengalaman akan menjadi gambaran tentang seberapa baik kompetensi seseorang pada bidang pekerjaannya, baik berupa kompetensi teknis maupun kompetensi manajerial. Pengalaman berisi informasi tentang perilaku masa lalu di mana perilaku masa lalu diyakini mampu menjadi prediksi yang baik atas perilaku yang akan muncul di masa depan pada situasi yang serupa.
Pengalaman kerja adalah hal yang sangat berharga namun seringkali tidak terdokumentasikan dengan baik. Saat harus menceritakannya kembali atau mereka ulang kejadian terkadang banyak bagian yang terlupakan, terutama pada hal-hal yang bersifat detil. Padahal tidak menutup kemungkinan suatu kejadian yang serupa akan terjadi di masa datang dan membutuhkan penyikapan yang tak jauh berbeda. Pengalaman akan membuat seseorang lebih mudah dalam menyelesaikan masalah dalam pekerjaan. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa kuat ingatan seseorang pada pengalaman atau suatu kejadian di masa lalu?
Berdasarkan teori psikologi kognitif, ingatan adalah kekuatan jiwa untuk menerima, menyimpan, dan mereproduksi kesan-kesan. Ingatan menunjukkan kemampuan manusia untuk menyimpan dan menimbulkan kembali sesuatu yang pernah dialami. Ingatan seseorang mengenai peristiwa-peristiwa yang pernah dialami secara pribadi oleh individu di masa yang lalu disebut memori episodik. Menurut model memori Tulving, memori episodik memiliki tingkat kelupaan yang tinggi dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengingat kembali[1]. Seseorang dihadapkan pada satu kenyataan bahwa ingatan bersifat terbatas. Ada kondisi-kondisi yang mempengaruhi daya kerja ingatan, misalnya kondisi jasmani (usia, kesehatan, kelelahan, kurang tidur) dan kondisi emosi (keterkaitan kejadian dengan perasaan saat kejadian terjadi).
Ingatan seseorang tentang suatu kejadian akan sulit diambil kembali dan bahkan hilang seiring dengan berjalannya waktu (Decay Theory)[2]. Munculnya kejadian baru juga dapat menutup atau mengganggu ingatan seseorang pada kejadian yang telah lampau (Interference Theory)[3]. Hal ini sangat mungkin terjadi, bayangkan seorang pegawai yang sangat sibuk dengan pekerjaan, setiap hari ia dihadapkan pada kejadian-kejadian yang bervariasi dengan tantangan beragam. Besar kemungkinan ada di antara kejadian tersebut yang bernilai sebagai pengalaman berharga dan menjadi bagian dari kejadian kritis (Critical Incident) namun terlupakan karena padatnya aktivitas lain yang datang kemudian. Sayangnya belum banyak pegawai yang melakukan pencatatan secara detil atas pekerjaan yang ia lakukan sehari-hari. Pekerjaan menjadi sebuah rutinitas yang berlalu seiring dengan waktu dan datangnya penugasan baru. Tidak banyak yang benar-benar menghayati suatu kejadian dalam pekerjaan, seperti apa situasinya, apa perannya dalam situasi tersebut, apa saja tindakan yang ia lakukan, dan bagaimana hasil dari tindakan yang diambil. Setiap hal tidak secara utuh terdokumentasikan.
Pengalaman-pengalaman kerja yang dimiliki akan sangat berpengaruhi dalam pelaksanaan penilaian kompetensi. Sampai dengan saat ini mungkin belum banyak pegawai yang mengetahui manfaat dari mendokumentasikan pengalaman kerja, menandai kejadian-kejadian kritis (Critical Incident) dalam setiap tahap pelaksanaan pekerjaan. Kesibukan barangkali menjadi alasan yang kuat, namun demikian mendokumentasikan pengalaman kerja pada dasarnya dapat dilakukan sewaktu-waktu tanpa harus menunggu penugasan apapun, termasuk penugasan untuk mengikuti penilaian kompetensi manajerial.
Penilaian kompetensi manajerial saat ini bukan lagi sebuah pilihan, setiap pegawai hanya sedang menunggu giliran untuk ditugaskan. Mengumpulkan pengalaman dari setiap kejadian yang dialami dalam pekerjaan perlu dilakukan, baik berupa pengalaman keberhasilan maupun pengalaman kegagalan. Bersiap dari awal, dokumentasi pengalaman, kejadian kritis (Critical Incident) yang dialami dalam pekerjaan mulai dari sekarang.
[1] Rahmawati. Model's of Memory. Jurnal Ilmiah al-Fikrah, Volume 1 No 2, Desember 2020, (h. 255-266)
[2] Marnio Pudjono. Teori-teori Kelupaan. Buletin Psikologi UGM Vol 16, No 2 , 2008, (h. 89-93)
[3] Ibid
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik