home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2023
Studi Kasus Pemungut Pajak Belanja Instansi Pemerintah
Balai Diklat Keuangan Pontianak
Senin, 27 Mei 2024 10:18 WIB
Oleh:
Mukhtaromin
Widyaiswara Ahli Madya
Pengantar
Sistem pemungutan pajak secara umum ada 3, yaitu self assessment, official assessment, dan witholding system. Sistem self assessment artinya wajib pajak menghitung, menyetorkan, dan melaporkan sendiri pajak-pajak terhutangnya, contohnya SPT Tahunan PPh Pasal 21. Dalam sistem official assessment, pajak terhutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus/petugas pajak, contohnya SPT Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan witholding system, artinya pajak terhutang dipungut/dipotong oleh Pihak ketiga.
Selama puluhan tahun, pemungutan pajak terkait belanja negara menganut witholding system. Pihak ketiga selaku pemungut pajak atas belanja negara selama ini adalah Bendahara Pengeluaran untuk belanja melalui mekanisme UP, serta PPSPM dan KPPN untuk belanja secara LS. Sampai akhirnya terbit Peraturan Menteri Keuangan No.231 Tahun 2019, di mana diatur bahwa atas belanja menggunakan Kartu Kredit Pemerintah (KKP), ditetapkan Pihak Penyedia sebagai pemungut PPN dan PPh Pasal 22-nya. Ketentuan ini diperluas dengan PMK No.58 Tahun 2022, atas belanja menggunakan UP kepada penyedia yang tergabung dalam Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP), seperti toko daring LKPP, maka pemungut pajaknya adalah Penyedia/marketplace yang dalam PMK tersebut dinamakan Pihak Lain.
Soal Kasus
Balai Diklat Keuangan melakukan pengadaan ATK untuk keperluan pelatihan klasikal melalui marketplace X yang tergabung dalam Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah sebesar Rp.22.200.000,00 (harga termasuk PPN) pada tanggal 10 Juli 2023.
Berapa pajak yang terutang dan bagaimana pemungutan pajaknya atas pembayaran belanja yang dilakukan oleh Balai Diklat Keuangan tersebut jika kondisinya sebagai berikut:
Pembahasan
Pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian, pertama perhitungan pajak terutang, dan yang kedua pemungutan atas pajak terutang.
Atas pembayaran pengadaan barang kepada penyedia pada marketplace X, secara umum dikenakan PPh pasal 22 karena terkait pengadaan. Berbeda dengan tarif PPh pasal 22 pada umumnya yang sebesar 1,5%, pada pengadaan barang melalui SIPP tarif PPh-nya sebesar 0,5%. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2022 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut Oleh Pihak Lain Atas Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa Melalui Sistem Informasi Pengadaan pasal 6, yaitu (1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari seluruh nilai pembayaran yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Selain itu juga dikenakan PPN karena barang yang dibeli termasuk kategori barang kena pajak. Tarif PPN sama dengan tarif PPN pada umumnya yaitu sebesar 11%. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = 100/111 x Rp22.200.000,-
= Rp20.000.000,-
PPN = DPP x 11%
= Rp20.000.000,- x 11%
= Rp2.200.000,-
PPh Pasal 22 = DPP x 0,5%
= Rp20.000.000,- x 0,5%
= Rp100.000,-
Jadi atas pembayaran tersebut pajak terutangnya adalah PPN sebesar Rp2.200.000,- dan PPh pasal 22 sebesar Rp100.000,-.
Bagaimana pemungutan atas pajak terutang tersebut, tergantung dari cara pembayarannya. Cara pembayarannya yang akan menentukan siapa pemungut pajaknya. Pada pembayaran menggunakan UP pemungut pajaknya akan berbeda dengan pembayaran secara LS. Berikut penjelasan masing-masing pemungut pajaknya:
Pada pembayaran menggunakan UP tunai, jika rekanannya tidak tergabung dalam SIPP maka pemungut pajaknya adalah Bendahara Pengeluaran. Namun jika rekanannya tergabung dalam SIPP maka pemungut pajaknya adalah marketplace X selaku Pihak lain. Hal ini berdasarkan ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2022 pasal 5 dan pasal 7. Dalam pasal 5 PMK tersebut:
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Rekanan sehubungan dengan transaksi:
a. penjualan barang; yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan terutang Pajak Penghasilan Pasal 22.
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut atas pembayaran kepada Rekanan baik menggunakan kartu kredit pemerintah maupun cara lainnya dalam mekanisme Uang Persediaan.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pihak Lain.
Dalam pasal 7:
(1) Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Rekanan yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.. (5) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pihak Lain.
Pada pembayaran menggunakan UP KKP, berlaku ketentuan yang sama dengan pembayaran menggunakan UP tunai. Dalam PMK 58/PMK.03/2022 Pasal 5 ayat (3), Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut atas pembayaran kepada Rekanan baik menggunakan kartu kredit pemerintah maupun cara lainnya dalam mekanisme Uang Persediaan.
Jika pembayarannya menggunakan LS, maka pemungut pajaknya adalah KPPN. Pemotongannya pada saat penerbitan SP2D, atas SPM LS yang diajukan oleh PPSPM. Hal ini diatur dalam PMK 58/PMK.03/2022 pasal 5 dan pasal 7. Dalam pasal 5 ayat (5), Pihak Lain tidak melakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas: b. pembayaran sehubungan dengan transaksi penjualan barang, penyerahan jasa, dan/ atau persewaan dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dilakukan oleh Rekanan yang pembayarannya dilakukan melalui mekanisme Pembayaran Langsung.
Rekanan pemerintah yang masuk kategori WP tertentu dengan peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 M setahun tidak mempengaruhi siapa pemungut pajaknya, tapi lebih berkaitan dengan jenis PPh yang dipungutnya. Jika pembayaran ke Penyedia yang tergabung dalam SIPP maka pemungut pajaknya adalah Penyedia/rekanan sebagai Pihak Lain. Sedangkan terkait jenis pajaknya, karena Penyedia termasuk kategori WP tertentu, maka PPh-nya bukan PPh Pasal 22 tetapi PPh Pasal 4 ayat (2).
Penutup
Pembayaran atas pengadaan barang kepada rekanan yang tergabung dalam SIPP terutang PPN dan PPh pasal 22. Berbeda dengan tarif PPh pasal 22 pada umumnya yang sebesar 1,5%, pada pembayaran kepada Penyedia/rekanan tersebut tarif PPh pasal 22-nya hanya 0,5%. Tarif ini sama dengan PPh pasal 4(2) atas transaksi dengan wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu sampai dengan Rp4,8 Milyar setahun.
Jika Instansi Pemerintah melakukan pengadaan barang/jasa dengan Pihak Lain melalui SIPP, dan pembayarannya menggunakan UP, baik UP tunai maupun UP KKP, maka kewajiban pemungutan PPN dan PPh 22 oleh Bendahara Pengeluaran beralih ke Pihak Lain. Jika pembayarannya melalui mekanisme Langsung (LS), Instansi Pemerintah tetap wajib memungut/memotong PPh dan/atau PPN.
Pengalihan kewajiban pemungutan pajak ke Pihak lain memberikan kemudahan tugas Bendahara Pengeluaran karena tidak perlu memungut pajak, namun dengan tetap menjaga keamanan penerimaan negara karena pemungutan pajaknya dilakukan oleh Pihak Lain dalam sistem. Hal tersebut diharapkan mendorong Satker untuk melakukan pengadaan barang/jasanya melalui SIPP, khususnya untuk pengadaan yang pembayarannya akan dilakukan dengan UP .
Daftar Pustaka
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik