home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2023
PERMASALAHAN HUKUM PERTANAHAN DI KALIMANTAN BARAT
Balai Diklat Keuangan Pontianak
Senin, 25 November 2024 07:18 WIB
Oleh: Arfin (Widyaiswara Ahli madya BDK Pontianak)
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Hak guna bangunan (HGB) merupakan salah satu hak atas tanah dalam hukum tanah nasional yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan tanah tanpa harus memiliki tanahnya dengan jangka waktu yang tidak terbatas (Harsono, 2003).
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria).
HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah/UUHT).
Hak Tanggungan bersifat accessoir yaitu bergantung pada utang yang dijamin untuk pelunasannya. Dalam praktik, sering muncul masalah terkait dengan pemberian kredit yang menggunkan HGB. Hal ini disebabkan karena HGB, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UUPA merupakan salah satu bentuk hak atas tanah yang memiliki jangka waktu penguasaan yang akan habis masa berlakunya. Ketika masa berlaku HGB yang dijadikan jaminan dalam pinjaman dengan hak tanggungan habis, akan ada konsekuensi hukum terhadap keberadaan hak tanggungan tersebut.
Artikel ini akan membahas tentang ramainya pemberitaan media soal penjualan dan pengalihan aset milik Pemprov Kalbar di tahun 2023. Selain itu, juga membahas kedudukan Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, sebagian masyarakat di Provinsi Kalimantan Barat masih menganggap SKT merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, masyarakat memperjualbelikan tanah hanya dengan dilengkapi dokumen kepemilikan SKT.
Berdasarkan Pasal 40 UUPA menentukan bahwa HGB hapus karena jangka waktunya berakhir; dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; dicabut untuk kepentingan umum; diterlantarkan; tanahnya musnah; atau ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA.
Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah menentukan hapusnya HGB disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
HGB di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Atas permohonan pemegang hak, HGB di atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. sedangkan HGB di atas tanah hak milik dapat diperbarui dengan akta pemberian HGB di atas hak milik.
HGB hapus karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian, perpanjangan, atau pembaruan haknya (Pasal 46 huruf a PP Nomor 18 Tahun 2021). Akibat hukum dari berakhirnya jangka waktu HGB, maka tanah HGB kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah hak pengelolaan.
Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT menentukan bahwa hak tanggungan akan hilang bersamaan dengan berakhirnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Jika HGB tidak diperpanjang dan jangka waktunya telah berakhir, maka HGB tersebut hapus. Jika HGB hapus, maka hak tanggungan juga menjadi hapus.
Berakhirnya hak tanggungan yang membebani HGB tidak secara otomatis mengakhiri perjanjian utang-piutang antara pemberi pinjaman dan peminjam, meskipun peminjam mungkin tidak dapat melunasi utangnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Hak Tanggungan merupakan perangkat hukum yang diberikan oleh negara untuk memberikan kepastian hukum bagi kreditur yang memiliki piutang atas debitur. Kepastian hukum sebagaimana dimaksud adalah adanya kepastian pengembalian utang oleh debitur wanprestasi berdasarkan perjanjian kredit yang telah disepakati pada saat perjanjian tersebut ditandatangani. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, maka pemegang hak tanggungan hanya dapat menggugat debitor atas dasar cidera janji (wanprestasi), namun gugatan ini hanya bisa dilakukan jika debitor terbukti tidak memenuhi prestasi berdasarkan perjanjian pokok.
HGB memiliki keterbatasan jangka waktu berlaku, maka bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian pada saat debitor mengajukan kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan, bank harus memastikan terlebih dahulu kelayakan peminjam melalui analisis kredit. Bank juga perlu mempertimbangkan untuk meminta jaminan tambahan, seperti jaminan pribadi, dan peminjam guna mengurangi resiko yang mungkin timbul di kemudian hari (Endratno, 2022). Mitigasi risiko yang dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan objek agunan kredit agar pembebanan hak tanggungan tidak menjadi hapus adalah dengan memperjanjikan hal-hal guna penyelamatan aset tersebut pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dari hasil pelelangan tersebut, kreditor dapat mengambil hasil lelang untuk pelunasan piutang piutangnya. Lelang eksekusi merupakan salah satu alternatif penjualan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 14 UUHT).
Ketentuan mengenai pelaksanaan eksekusi seringkali menjadi salah satu dalil gugatan yang diajukan oleh debitor. Dalam perkara mengenai lelang hak tanggungan yang masuk ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), salah satu dalil yang sering disampaikan oleh penggugat dalam gugatannya yaitu terkait dengan ketentuan dalam Pasal 224 HIR yang menyatakan bahwa surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang, yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang memakai perkataan: "atas nama keadilan" dikepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim (Afifah, 2022).
KPKNL seringkali diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena tidak menjalankan prosedur lelang berdasarkan Fiat Executie melalui penetapan ketua pengadilan. Sementara lelang eksekusi Pasal 6 UUHT yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan dengan dasar konsep Parate Executie. Adanya perbedaan konsep mengenai eksekusi lelang hak tanggungan antara Parate Executie dengan Fiat Executie membuat celah dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan lelang, khususnya lelang eksekusi hak tanggungan. Hal ini juga dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses jual-beli melalui lelang, karena risiko gugatan yang ada kedepannya.
HGB diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Tanah yang dapat diberikan dengan HGB berupa Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; dan Tanah Hak Milik. HGB diberikan untuk kegiatan usaha non-pertanian, antara lain perumahan; perkantoran; industri; pergudangan; pertokoan; perhotelan; rumah susun; pembangkit listrik; pelabuhan; atau penggunaan lainnya yang berwujud bangunan. Termasuk sarana pendukungnya, seperti lapangan golf, agrowisata, penetasan (hatchery) dan peternakan pembibitan (breeding farm) sesuai dengan rencana induk (master plan) (Pasal 86 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah).
Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kalimantan Barat menerbitkan resume hasil pemeriksaan atas sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, menelusuri adanya dugaan sejumlah barang atau aset milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yang berada di kawasan strategis telah dikelola oleh pihak swasta (swastanisasi) berupa bangunan dan lahan bekas rumah dinas maupun bekas kantor dinas di bawah naungan Pemprov Kalbar dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan cara memberikan SHGB untuk aset-aset Pemda Kalbar ke pihak ketiga (Jurnalis, 2023), berupa:
Hasil tim investigasi Media Kalbar, LSM, dan beberapa media menemukan fakta kalau pengalihan aset tersebut diduga dilakukan dengan cara diam-diam dan diduga hanya dialihkan ke kolega dekat, anak dan menantu serta kolega mantan pejabat berkuasa di Kalbar. Pelepasan aset yang dilakukan secara mendadak, tertutup tanpa dilelang secara terbuka, tidak menjelaskan secara rinci siapa saja yang memperoleh HGB dari aset Pemda Kalbar, serta prosedurnya tidak dijalankan dengan benar, sehingga diduga adanya unsur perbuatan melawan hukum (Xpose TV, 2024).
Penulis mendukung Upaya Pemerintah Daerah Kalbar dalam menaikan Ratio PAD, namun kurangnya transparansi dalam pengelolaan aset Provinsi Kalimantan Barat dapat menimbulkan gejolak publik dan menimbulkan tanda tanya besar masyarakat.
Surat Keterangan Tanah atau yang disingkat dengan SKT tanah adalah dokumen yang menerangkan riwayat sebuah bidang tanah yang dimiliki seseorang. Tanah dengan dokumen kepemilikan SKT adalah tanah yang belum bersertifikat atau tanah yang belum didaftarkan status haknya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Menjadikan Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat di Provinsi Kalimantan Barat karena proses pendaftaran yang tidak memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama, sehingga masyarakat lebih memilih SKT sebagai bukti kepemilikan tanahnya.
SKT dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah setempat sesuai ketentuan Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 5 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Sebelum lahirnya UUPA, surat keterangan tanah merupakan tanda bukti hak atas tanah yang diakui, akan tetapi setelah lahirnya UUPA dan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya sertifikat hak atas tanah yang diakui sebagai bukti kepemilikan tanah meskipun demikian, selain sertifikat tanah nampaknya masih ada hak lain yang masih berlaku yakni Surat Keterangan Tanah (SKT). Setelah lahirnya UUPA, SKT tidak berlaku lagi sebagai bukti kepemilikan atas tanah.
Pasca dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat, kedudukan SKT yang awalnya merupakan alas hak dalam proses pendaftaran tanah, menjadi tidak lagi menjadi syarat mutlak dalam pendaftaran dan pembuatan sertifikat. Alas hak yang dimiliki oleh masyarakat dapat diganti dengan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT) dengan itikad baik oleh pemilik tanah. SPPFBT banyak digunakan dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) karena dari segi pelaksanaan sangat memberi kemudahan pada masyarakat. Sebelumnya masyarakat diwajibkan memiliki kelengkapan surat tanah di mana biaya pembuatannya sangat mahal serta proses pembuatan SKT yang membutuhkan waktu lama.
Pasal 97 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa SKT yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah.
Kendati demikian, terkadang SKT dibutuhkan untuk mengurus sejumlah dokumen tertentu. Sebagai hak dasar atas sebidang tanah, SKT juga merupakan alat bukti hak atas tanah yang diakui di dalam persidangan sengketa tanah ataupun sengketa administrasi pertanahan di Indonesia.
Tanah dengan dokumen kepemilikan SKT tetap bisa diperjualbelikan. Jika hendak membeli tanah dijual tapi bentuk dokumen kepemilikan tanahnya SKT, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa itu adalah tanah bermasalah. Setelah membeli tanah tersebut, maka Anda harus mendaftarkannya di BPN. Hal ini dimaksudkan agar tanah tersebut bisa dibuatkan sertifikat, sebagai bukti kepemilikan dengan kekuatan dan kepastian hukum yang tetap.
Daftar Pustaka
Buku
Harsono. (2003). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Jurnal
Endratno. (2022). Refleksi Filsafat Hukum: Telaah Sintesa Keadilan. Yustitiabelen, 8(2), p. 97–117.
Internet
Afifah. (2022, Februari 21). "Konsep Parate Executie dan Fiat Executie dalam Pelaksanaan Lelang Pasal 6 UU Hak Tanggungan di KPKNL". Retrieved from DJKN: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lampung/baca-artikel/14751/Konsep-Parate-Executie-dan-Fiat-Executie-dalam-Pelaksanaan-Lelang-Pasal-6-UU-Hak-Tanggungan-di-KPKNL.html
Jurnalis. (2023, Desember 23). "Cek Fakta : Dugaan Swastanisasi Aset Pemprov Kalbar". Retrieved from https://jurnalis.co.id/2023/12/23/cek-fakta-dugaan-swastanisasi-aset-pemprov-kalbar/
Xpose TV. (2024, Januari 3). Bongkar Modus Dugaan Korupsi SHGB Aset Pemda Kalbar. Retrieved from https://xposetv.live/bongkar-modus-dugaan-korupsi-shgb-aset-pemda-kalbar/
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik