home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2023
OBJEK PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN KONTROVERSIAL MAHKAMAH KONSTITUSI
Balai Diklat Keuangan Pontianak
Kamis, 21 September 2023 15:54 WIB
oleh: Arfin - Widyaiswara Ahli Madya BDK Pontianak
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) merupakan unit eselon I di bawah dan bertanggung jawab kepada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan, dan fasilitasi serta optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
DJBC dalam melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang kepabeanan dan cukai tidak terlepas dari dugaan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), sesuai dengan adagium dari Lord Acton “Kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti disalahgunakan”. Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang.
Praperadilan dibentuk sebagai wadah bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan kepentingannya oleh pihak lain, namun Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang telah memperluas objek praperadilan mengakibatkan semakin banyak kasus yang melibatkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai termohon praperadilan. Hal ini disebabkan sebagian pelaku usaha kurang memahami mengenai bentuk dari kewenangan DJBC dalam melakukan tindakan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai. Adanya sifat memaksa pada wewenang administratif menjadikan penindakan administratif seringkali dipersamakan dengan tindakan penyidikan yang diatur dalam KUHAP sehingga dianggap sebagai objek praperadilan, contohnya penegahan yang disertai penyegelan dipersamakan dengan penyitaan karena sama-sama memiliki sifat paksa berupa adanya penguasaan barang oleh Petugas Bea dan Cukai atau pemeriksaan bangunan yang dipersamakan dengan penggeledahan karena adanya unsur memasuki suatu tempat dengan upaya paksa.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mendefinisikan praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
Praperadilan diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 s.d. Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Secara khusus aturan tentang objek praperadilan diatur tersendiri dalam Pasal 77 KUHAP yang menentukan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memiliki semangat guna tercapainya penegakan, perlindungan, serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Mahkamah Konstitusi secara realistis mengganggap bahwa KUHAP yang disahkan pada era dahulu (tahun 1981) sebagai dasar hukum beracara di ranah pidana, dianggap sudah kurang relevan dengan perkembangan hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam pasal yang berkaitan dengan pengejawantahan HAM bagi tersangka, yang dinilai kurang mendapat perlindungan serta penghormatan dalam KUHAP. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah selaku Pemohon, Mahkamah Konstitusi telah memperluas wewenang pengadilan untuk mengadili dengan menambah 3 (tiga) objek praperadilan, yaitu:
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 15 November 2016 diperluas kembali dengan menambahkan Kewajiban penyerahan surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum maksimal dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.
Praperadilan merupakan salah satu jelmaan dari Habeas Corpus sebagai prototype, yaitu sebagai tempat untuk mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana (Pangaribuan, 2014). Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang melalui surat perintah pengadilan untuk menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil agar tidak melanggar ketentuan hukum, namun konsep Habeas Corpus Act yang diadopsi oleh KUHAP tidak memiliki kewenangan seluas dan seketat konsep aslinya. Praperadilan yang awalnya diproyeksikan sebagai sarana pengawasan untuk menguji keabsahan suatu upaya paksa (dwangmiddelen), namun dalam praktiknya lembaga ini hanya mengarah kepada model pengawasan administratif, sehingga praperadilan tidak dapat digunakan untuk menguji apakah asas yuridis dan asas nesesitas (keperluan) dalam upaya paksa yang dilakukan absah dalam arti materiil.
Salah satu masalah mendasar yang kerap ditemui dalam praktik adalah pelaksanaan upaya paksa oleh penegak hukum, terdiri dari tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Untuk memastikan pelaksanaannya dilakukan dalam batas-batas yang sah dengan tidak melanggar hak dan kebebasan individu, sudah selayaknya upaya paksa dilengkapi dengan pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) sebagai upaya kontrol atas kewenangan yang dimiliki penyidik. Oleh karena itu, penulis secara tegas mendesak untuk digantinya lembaga praperadilan dengan lembaga kontrol baru yang menekankan kehadiran judicial scrutiny dalam setiap tahapan dalam sistem peradilan pidana.
Negara-negara di Eropa Daratan tidak menerapkan Habeas Corpus Act, namun negara-negara tersebut menekankan pentingnya pengawasan pengadilan terhadap upaya paksa yang merampas hak seseorang. Di Perancis, hakim pemeriksa pendahuluannya dikenal dengan istilah Judge d’Instruction dan Procureur, sementara di Belanda, pengawas pengadilannya disebut Rechter Commissaris (ICJR, 2022).
Benchmark konsep pengawasan persidangan (judicial scrutiny) di Jerman. Setelah berkas perkara sampai di pengadilan, hakim ketua bertanggung jawab untuk menyelenggarakan tahap pra-sidang yang bertujuan untuk memeriksa alat bukti dan kejanggalan-kejanggalan lain selama proses penyelidikan maupun penyidikan. Pada proses ini, hakim dapat mengarahkan penyidikan lanjutan ataupun melakukan penyidikan sendiri. Jika hakim menilai sudah cukup bukti untuk melanjutkan perkara ke tahap pengadilan, akan menentukan tanggal sidang dan meminta penuntut umum untuk menghadirkan saksi-saksi yang diperlukan. Akan tetapi, sebelum tahap persidangan, terdakwa dapat menolak keputusan hakim untuk membawa perkara ke tahap pengadilan dan meminta hakim untuk mempertimbangkan bukti tambahan. Selain itu, sebelum berlanjut ke tahap pengadilan, hakim juga dapat membuat pertemuan pendahuluan dengan penuntut umum dan terdakwa untuk mengkerucutkan masalah atau membatasi jumlah saksi yang dihadirkan. Ada pula tawar-menawar pembelaan sebelum persidangan yang dapat mengubah dakwaan penuntut umum (Scheffer et al, 2010).
DJBC memiliki unit pengawasan khusus yang bertugas untuk melaksanakan penegakan hukum atas pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai, baik itu pelanggaran yang bersifat administratif (kegiatan penindakan) maupun pelanggaran pidana (kegiatan penyidikan), yakni unit intelijen, unit penindakan, unit penyidikan, unit narkotika, unit patroli laut, dan unit sarana operasi.
Dasar hukum DJBC dalam melaksanakan tugas pengawasan dan penegakan hukum di bidang kepabeanan dan cukai, sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas pengawasan dan penegakan hukum di bidang kepabeanan dan cukai diberikan kewenangan baik yang bersifat umum maupun khusus, sebagai berikut:
Fungsi pengawasan yang melekat pada instansi DJBC tidak terbatas pada tindakan persuasif dan represif saja, melainkan pengawasan dalam bentuk administratif yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai. Kewenangan administratif DJBC meliputi meneliti dokumen impor dan ekspor; menetapkan Jalur Merah, Jalur Hijau, dan Jalur Mitra Utama; menentukan klasifikasi barang; membetulkan, menghapuskan, mengurangi, dan menambah bea masuk yang harus dibayar; pemeriksaan fisik barang; pemeriksaan pembukuan; pemeriksaan bangunan dan tempat lain; pemeriksaan sarana pengangkut; dan pemeriksaan badan. Selain itu, terdapat juga kewenangan administratif yang bersifat memaksa, seperti menegah barang dan/atau sarana pengangkut; mengunci; menyegel; dan/atau melekatkan tanda pengaman.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, diberikan kewenangan khusus berdasarkan undang-undang untuk melakukan serangkaian tindakan penyidikan, meliputi pemanggilan orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; penangkapan; penahanan; penggeledahan; dan penyitaan.
Kewenangan administratif DJBC bukan merupakan objek praperadilan walaupun didalamnya terdapat unsur upaya paksa (dwangmiddelen). Kewenangan DJBC yang menjadi objek praperadilan adalah kewenangan penyidikan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 112 Undang-Undang tentang Kepabeanan dan Pasal 63 Undang-Undang tentang Cukai.
DJBC dalam menjalankan kewenangan penindakan administratif dihadapkan pada upaya perlawanan hukum dari pihak yang merasa dirugikan. Berikut ini 2 (dua) perkara praperadilan tentang sah atau tidaknya penyitaan. Contoh perkara ini memperlihatkan adanya perbedaan pertimbangan hukum hakim terhadap pengajuan kewenangan administratif dan upaya paksa DJBC sebagai objek praperadilan.
Pengajuan Praperadilan bermula saat adanya tindakan Petugas Bea dan Cukai berupa penegahan yang dilanjutkan dengan penyegelan pada tanggal 14 Maret 2019 atas kapal milik PT Adiguna Putera yang memuat batubara milik PT Tambang Damai dan PT Tunas Muda Jaya. Penyegelan dilakukan oleh petugas karena adanya dugaan pelanggaran pada Pasal 102A huruf a yakni mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau Pasal 102A huruf c yakni memuat barang ekspor di luar Kawasan Pabean tanpa izin Kepala Kantor Pabean.
Petugas Bea dan Cukai menegah dan menyegel sarana pengangkut batubara tersebut dilaksanakan sesuai dengan kewenangan administrasi yang dimiliki berdasarkan Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Pasca dilakukan penyegelan, Iwan Sardjono melaporkan tindakan Petugas Bea dan Cukai tersebut dengan dalih tindakan yang dilakukan Petugas Bea dan Cukai telah melanggar syarat-syarat formil berkaitan dengan tindakan penyidik dalam menyita barang bukti tanpa dilengkapi Surat Perintah Penyegelan/Penyitaan, Berita Acara Pemeriksaan Pelapor, Berita Acara Ahli, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, dan lain-lain sebagaimana dimaksud dengan Pasal 1 ayat (16), Pasal 8 ayat (1), Pasal 38, dan Pasal 75 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika tindakan administratif tidak memberikan solusi perbaikan administratif dan barang yang disegel ditahan dalam jangka waktu yang lama dan sesuai dengan pengertian penyitaan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan, maka tindakan tersebut telah berubah menjadi tindakan pro justitia arena telah ada bentuk-bentuk paksa yang menyebabkan pemilik barang tersebut menjadi tidak memiliki akses terhadap barang tersebut.
Dalam Eksepsi:
Menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya.
Dalam Pokok Perkara:
Hakim tunggal Pengadilan Negeri Balikpapan yang memeriksa dan mengadili perkara Praperadilan Nomor 5/Pid.Pra/2019/PN Bpp telah keliru dengan mempersamakan tindakan administratif yang bersifat non justisia berupa penyegelan dengan tindakan pro justisia berupa penyitaan. Hakim berpendapat bahwa tindakan penyegelan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ada pada penyitaan, yaitu telah ada bentuk-bentuk paksa untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan, yang pada akhirnya menyebabkan pemilik barang tersebut menjadi tidak memiliki akses terhadap barang tersebut.
Mempersamakan tindakan administratif berupa penyegelan dengan tindakan penyitaan kuranglah tepat, hal ini didukung juga dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 tanggal 3-5 November pada butir A. Rumusan Hukum Kamar Pidana, menyatakan bahwa penyegelan yang dilakukan Pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan tugas administratifnya bukan merupakan objek praperadilan.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum (rechtmatigheid), sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Ketika pandangan hakim yang mempersamakan tindakan penegahan yang ditindaklanjuti penyegelan itu dipersamakan dengan penyitaan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum. Lloyd mengemukakan bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbullah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum (Mertokusumo, 1993).
Tindakan administratif berupa pemeriksaan bangunan, penegahan, dan penyegelan terhadap barang kena cukai yang menggunakan pita cukai diduga tidak sesuai dengan ketentuan, maka dilakukan upaya hukum melalui mekanisme praperadilan, dengan objek praperadilan berupa penggeledahan dan penyitaan atas barang kena cukai.
Pemohon mempersamakan antara tindakan administratif Petugas Bea dan Cukai berupa pemeriksaan bangunan dan menegah barang sesuai Pasal 33 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), pasal 37 ayat (1), dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dengan tindakan penyidikan berupa penggeledahan dan penyitaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Jika Pejabat Bea dan Cukai melakukan penindakan yang bersumber dari Undang-Undang Cukai, maka penindakannya itu dalam jabatannya sebagai pengawas, karena jabatannya pengawas bertindak dalam konteks lingkup administrasi, penyelesaiannya dengan membayar denda, maka dia tidak melakukan penyidikan sehingga penindakan bukan objek praperadilan, yang menjadi objek preperadilan apabila dipastikan ada dugaan kuat sebagai perbuatan pidana maka jelas keluarkan karena telah ada bentuk-bentuk paksa yang menyebabkan pemilik barang tersebut menjadi tidak memiliki akses terhadap barang tersebut.
Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan dan Pengadilan Negeri Sleman memiliki pemahaman yang berbeda terhadap kewenangan DJBC, apakah masuk ranah administratif/non justisia (yang didalamnya memang mengandung unsur upaya paksa) atau masuk ranah penyidikan/pro justisia. Menurut Adji, perbedaan putusan atas kasus yang sama disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang, seperti pengaruh dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya, sehingga mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan (Adji, 1984). Meskipun terdapat dualisme putusan hakim dalam suatu perkara yang sejenis, penulis tetap menganggap putusan hakim harus dianggap benar sesuai asas res judicata pro veritate habetur.
Daftar Pustaka
Buku
Adji. (1984). Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.
Arto. (2004). Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mertokusumo. (1993). Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Pangaribuan. (2014). Hukum Acara Pidana: Surat Resmi Advokat di Pengadilan. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Scheffer et al. (2010). Criminal Defence and Procedure Comparative Ethnographies in the United Kingdom, Germany, and the United States. New York: Palgrave Macmillan
Internet
ICJR. (2022, Oktober). Judicial Scrutiny Melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan KUHAP. Retrieved from https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2022/10/Judicial-Scrutiny-melalui-Hakim-Pemeriksa-Pendahuluan-dalam-RKUHAP.pdf
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik