home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2023
Mengenal Design Thinking
Balai Diklat Keuangan Pontianak
Minggu, 20 November 2022 18:32 WIB
ditulis oleh Mukhtaromin, Widyaiswara Ahli Madya BDK Pontianak
Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika pertama kali mendengar istilah design thinking? Mungkin yang terbayang adalah.… suatu cara berpikir, berpikir kreatif, atau jangan-jangan tentang desain produk baru. Jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang benar bahwa design thinking adalah suatu cara berpikir yang kreatif yang tujuannya adalah dapat menciptakan produk baru, cara baru, atau inovasi baru. Konsep berfikir dalam design thinking adalah dengan cara mendefinisikan masalah, berpikir kreatif mencari jalan keluarnya, sampai akhirnya menghasilkan inovasi atau produk baru seperti yang dibayangkannya.
Apakah Design Thinking?
Secara bahasa design thinking dapat diartikan sebagai cara berpikir seperti desainer. Designer merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris, dari kata dasar 'design' yang artinya kerangka bentuk atau rancangan. Desainer memiliki arti seseorang yang merancang. Dengan begitu bisa diartikan jika desainer adalah seseorang yang merencanakan bentuk serta tampilan akan sesuatu atau merancang sesuatu. Tugas dari seorang desainer antara lain merencanakan model suatu objek, menggambar model objek, mengukur ukuran benda yang sesuai, memilih bahan objek yang sesuai, dan mengamati produksi benda tersebut. Pada umumnya desainer bekerja berdasarkan pesanan dari pelanggan. Ketika menerima pesanan, pertama kali yang dilakukan oleh desainer adalah menangkap keinginan pelanggan, mewujudkannya dalam bentuk rancangan, dan menyerahkan hasilnya setelah disepakati oleh pelanggan.
Mengutip dari artikel Design Thinking: Pengertian, Tahapan, dan Contoh Penerapannya dalam https://www.gramedia.com/literasi/design-thinking/, Design thinking bukanlah istilah baru. Gagasan menggunakan pendekatan desain untuk pemecahan masalah secara kreatif sudah lama diperbincangkan para ahli sejak tahun 1960-an. Para ahli saling menyumbang pemikirannya, sehingga terbentuklah konsep design thinking. Ialah John E. Arnold yang pertama kali mengemukakan istilah design thinking dalam bukunya “Creative Engineering” pada 1959. Kemudian, pada 1965, L. Bruce Archer menimpali gagasan tersebut dengan mengemukakan bahwa design thinking perlu dilakukan secara sistematis. Herbert Simon, seorang sosiolog sekaligus psikolog Amerika menyumbang pemikirannya melalui artikelnya berjudul The Sciences of The Artificial yang terbit pada 1969.
Pengertian design thinking menurut “Interaction Design Foundation” adalah proses yang dilakukan secara berulang untuk memahami pengguna, menantang asumsi, mendefnisikan ulang permasalahan, serta menciptakan solusi. Sedangkan “Career Foundry” mengatakan, design thinking adalah sebuah ideologi maupun proses untuk memecahkan masalah kompleks yang menitikberatkan kepentingan pengguna. Sederhananya, design thinking merupakan pendekatan atau metode pemecahan masalah baik secara kognitif, kreatif, maupun praktis untuk menjawab kebutuhan manusia sebagai pengguna.
Design thinking meliputi proses-proses seperti analisis konteks, penemuan dan pembingkaian masalah, pembuatan ide dan solusi, berpikir kreatif, membuat sketsa dan menggambar, membuat model dan membuat prototipe, menguji dan mengevaluasi. Inti dari design thinking meliputi kemampuan untuk:
John E. Arnold adalah salah satu penulis pertama yang menggunakan istilah design thinking. Dalam “Creative Engineering” (1959) dia membedakan empat bidang pemikiran desain. Menurut Arnold, pemikiran desain dapat menghasilkan antara lain:
Jadi, menurut konsep awal ini design thinking mencakup semua bentuk inovasi produk, termasuk terutama inovasi inkremental (kinerja yang lebih tinggi) dan inovasi radikal (fungsionalitas baru).
Mengapa Design Thinking?
Tim Brown, CEO dari IDEO dalam artikelnya di Harvard Business Review, menyatakan bahwa “design thinking is an approach to innovation that uses the designer’s sensibility and methods to match people’s needs with that is technologically feasible and what a viable business startegy can convert into customer value and business opportunity”. Design thinking adalah sebuah pendekatan untuk melahirkan inovasi yang berpusat pada manusia yang menggunakan toolkit yang biasa digunakan desainer yang mengintegrasikan tiga hal, pertama adalah kebutuhan dari orang, kedua kemungkinan pemanfaatan teknologi, dan kebutuhan untuk bisa menghasilkan keuantungan bisnis.
Sejak penerbitan artikel tersebut, design thinking menjadi sangat berkembang popularitasnya di luar komunitas desain sebagai pendekatan inovatif dalam memecahkan permasalahan. Dalam dunia bisnis, design thinking sudah digunakan banyak perusahaan di seluruh dunia untuk mengembangkan produk, layanan, proses kerja, dan model bisnis. Karena prosesnya terbukti mampu menghasilkan inovasi yang disenangi oleh customer, bersifat out of the box, dan menguntungkan dari sisi bisnis.
Proses inovasi yang menggunakan pendekatan design thinking disebut dengan human centered design, atau berpusat pada manusia, karena fokusnya adalah membantu pelanggan mengatasi masalahnya dan mencapai tujuan yang diinginkan. Aspek inilah yang membuat design thinking berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain yang berpusat pada teknologi atau pesaing.
Perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Apple, Samsung, IBM, Google, Nike, dan Philips, produknya, marketnya, industrinya berbeda-beda namun mereka punya satu kesamaan yaitu menggunakan pendekatan design thinking untuk melahirkan inovasi sehingga mereka menjadi perusahaan ikonik seperti saat ini.
Mengapa banyak perusahaan besar menggunakan konsep design thinking? Berdasarkan riset dari Mc Kinsey&Company, The Business Value of Design (2018), dalam lima tahun terakhir, perusahaan-perusahaan yang konsisten menerapkan design thinking secara intensif mengalami pertumbuhan penghasilan 10% dibandingkan rata-rata perusahaan 3-6%.
Sumber: Design Thinking Express Slides, CIAS
Di samping itu dari sisi pertumbuhan deviden mereka mengalami kenaikan 21% dibandingkan dangan perusahaan lain yang tidak menerapkan design thinking sebesar 12-16%.
Berdasarkan penelitian, mengapa banyak brand dan konsultan yang sangat menyarankan proses design thinking karena:
Lima Tahapan Dalam Design Thinking
Design thinking memiliki lima tahap: Empathize, Define, Ideate, Prototype, dan Test. Kelima tahap tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan linear. Artinya, tahap tersebut tidak harus dilakukan secara berurutan, namun desainer dapat kembali ke tahap sebelumnya untuk menggali lebih banyak data.
1. Empathize
Empathize adalah memahami situasi dan kondisi yang dialami oleh customer (keluhan, keinginan, dan lain-lain). Pada tahap ini, kita harus memahami kebutuhan, batasan, perilaku, dan aspirasi user. Empathize dilakukan melalui tiga cara, yaitu observe, engage, dan immerse. Observe dilakukan dengan mengamati pain/gain orang ketika bekerja dari bahasa tubuh, ekspresi, dan kata-kata. Engage adalah berinteraksi dengan diskusi santai beberapa karyawan dengan pekerjaan yang sama terkait pain/gain. Immerse dilakukan melalui mengalami sendiri, lakukan pekerjaan mereka sehingga tahu pain/gainnya.
2. Define
Define adalah memilih dan mendefinisikan permasalahan customer yang akan diselesaikan. Berdasarkan data yang telah kita dapatkan dari tahap empathize, kita dapat mulai mendefinisikan insight dan pola yang muncul. Apa permasalahan utama yang dihadapi oleh user? Apa hambatan yang ditemukan? Apa harapan mereka?
3. Ideate
Ideate adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya ide yang bisa menjadi solusi dan memilih alternatif solusi terbaik. Setelah memahami dan menetapkan user serta problem dengan jelas, sekarang kita bisa memikirkan solusi yang sesuai di tahap ideate. Pada tahap ini, kita dapat membuat mind-map untuk memikirkan solusi yang ditawarkan menghadapi masalah yang ada.
4. Prototype
Prototype adalah membuat representasi visual dari solusi agar menjadi konkrit dan bisa diindera. Pada tahap ini kita akan mengubah ide menjadi kenyataan. Prototype yang dibuat tidak harus sempurna, karena akan ditest pada tahap setelah ini dan akan diperbaiki terus-menerus secara iteratif.
5. Test
Test adalah mengujicobakan prototype dengan customer untuk mendapatkan umpan balik terkait solusi yang dibuat test. Setelah membuat prototype, kita harus memeriksa apakah solusi yang kita berikan benar-benar menjawab kebutuhan user. Pada tahap ini, kita dapat melakukan berbagai jenis testing untuk mendapatkan feedback nyata dari user.
Contoh Penerapan Design Thinking: Studi Kasus Gojek
Mengutip artikel Design Thinking: Pengertian, Tahapan, dan Contoh Penerapannya, Contoh penerapan design thinking adalah kesuksesan Gojek dalam menemukan masalah dan memberikan solusi menggunakan design thinking. Founder Gojek, Nadiem Makarim resah saat banyak orang tak percaya ojek bisa menjadi pekerjaan profesional.
Keraguan tersebut dijawabnya melalui penemuan inovatif berupa aplikasi penghubung mitra ojek online dan penumpang dengan Gojek. Per 2020, Gojek telah mengumpulkan 38 juta pengguna aktif bulanan, menyabet gelar unicorn pada Mei 2017, dan menjadi decacorn dua tahun setelahnya.
Berikut tahapan penemuan Gojek menggunakan design thinking.
Nadiem mengatakan bahwa sektor ojek sangat bernilai. Ini berawal dari pengalaman pribadinya yang lebih memilih naik ojek dibanding membawa mobil sendiri untuk menghindari kemacetan Jakarta. Nadiem mendapati bahwa masyarakat juga merasakan keresahan yang sama dan membutuhkan tranportasi alternatif.
Di sisi lain, karena sering naik ojek, Nadiem dapat memahami seluk beluk perjuangan seorang ojek yang bekerja selama 14 jam sehari dan tidak bertemu anak istri, tetapi hanya dapat 4 penumpang. Nadiem merasa prihatin dengan nasib tukang ojek.
Nadiem berusaha menjawab permasalahan yang ada dengan menekankan bahwa konsumen menghadapi masalah kemacetan setiap hari. Di sisi lain, terdapat ketidakpastian penghasilan dari tukang ojek, bahkan setelah bekerja berjam-jam dalam sehari.
Selain itu, Nadiem juga melihat, pada saat banyak ojek tersedia, tidak banyak penumpang yang membutuhkan jasanya. Namun, saat penumpang butuh, sang ojek tidak berada di tempat. Kata Nadiem, ini menyebabkan inefisiensi pasar. Oleh karena itu, Nadiem merasa harus membuat terobosan baru untuk mengakomodasi hal tersebut.
Potential problem statement: “Masyarakat butuh transportasi alternatif untuk menghindari kemacetan Jakarta dan tukang ojek butuh kepastian penghasilan (penumpang)”.
Bermodal keresahan masyarakat atas kemacetan Jakarta, nasib tukang ojek, dan perumusan problem statement di atas, Nadiem merumuskan beberapa solusi. Salah satunya dan yang akan menjadi dasar pembuatan produknya saat ini, adalah dengan menciptakan sebuah penghubung antara kebutuhan penumpang dan tukang ojek.
Pada 2010, Nadiem membuat sebuah call center untuk ojek konvensional yang berjumlah 20 orang pengemudi. Setelah mendapat respons positif dari masyarakat, barulah Gojek mengembangkan aplikasinya.
Referensi:
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik