home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2023
MENELUSURI KASUS KORUPSI PENYALAHGUNAAN FASILITAS KAWASAN BERIKAT
Balai Diklat Keuangan Pontianak
Senin, 18 Desember 2023 14:36 WIB
Oleh: Arfin (Widyaiswara Ahli Madya BDK Pontianak)
Dalam rangka meningkatkan investasi dan mendorong sektor ekspor, pemerintah memberikan insentif fiskal di bidang kepabeanan dan perpajakan di Tempat Penimbunan Berikat (TPB), salah satunya berupa Kawasan Berikat (Bonded Zone).
Secara yuridis pengertian Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai (Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.04/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat jo. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-6/BC/2023 tentang Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi Terhadap Penerima Fasilitas Tempat Penimbunan Berikat).
Kegiatan pengolahan yang dimaksud dalam definisi tersebut meliputi mengolah barang/bahan dengan atau tanpa bahan penolong menjadi barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan fungsinya dan juga budidaya flora dan fauna, sedangkan kegiatan penggabungan meliputi kegiatan menggabungkan dan/atau menggenapi barang hasil produksi Kawasan Berikat yang bersangkutan sebagai produk utama dengan barang jadi.
Kawasan Berikat merupakan salah satu jenis Tempat Penimbunan Berikat (TPB) yang didalamnya dilakukan kegiatan industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. Pembentukan Kawasan Berikat diharapkan dapat berperan penting dalam upaya meningkatkan, mengembangkan, dan memperlancar arus lalu lintas barang dalam kerangka perdagangan internasional (impor, ekspor, dan re-ekspor), serta memacu ekspor melalui pelayanan satu pintu (one stop service) dalam pelayanan kepabeanan dan penerbitan perizinan penanaman modal (Sugianto dan Arfin, 2022).
Dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing perusahaan pada skala global, Kawasan Berikat diberikan fasilitas kepabeanan dan perpajakan meliputi:
Jenis dokumen pemberitahuan pabean yang digunakan untuk pelayanan dan pengawasan di Kawasan Berikat dikelompokkan menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
Prosedur pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Berikat secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 1
Pemasukan Barang dari Luar Daerah Pabean ke Kawasan Berikat
Barang asal Luar Daerah Pabean atau barang impor masuk ke Kawasan Berikat melewati Kawasan Pabean di Pelabuhan. Pengangkutan dari Kawasan Pabean di pelabuhan ke TPB menggunakan dokumen BC 2.3 dan dipasangi tanda pengaman berupa segel kepabeanan. Kawasan Berikat merupakan Kawasan Pabean, sehingga pemasukan ke TPB mendapatkan penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, dan tidak dipungut PDRI, serta belum dikenakan ketentuan pembatasan di bidang impor. barang yang masuk ke Kawasan Berikat dengan menggunakan BC 2.3 dilakukan pemeriksaan pabean dengan manajemen risiko.
Gambar 2
Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai dari Kawasan Berikat ke TLDDP
Atas barang yang berasal dari luar Daerah Pabean (eks BC 23) yang akan diimpor untuk dipakai harus mengajukan dokumen BC 2.5 (mirip dengan BC 2.0 diimpor umum hanya saja pengajuan dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat). BC 2.5 diajukan oleh Pengusaha TPB dengan melakukan pelunasan bea masuk, cukai, dan/atau PDRI. Transaksi dari TPB ke perusahaan di TLDDP dipungut PPN lokal. Atas barang yang terkena ketentuan pembatasan di bidang impor, ketentuan tersebut harus dipenuhi saat pengajuan BC 2.5. Atas barang (hasil produksi) yang diolah (Kawasan Berikat) tidak terkena ketentuan pembatasan dikarenakan merupakan barang produksi dalam negeri. Sebelum barang dikeluarkan dilakukan pemeriksaan pabean dengan manajemen risiko.
Gambar 3
Pengeluaran Sementara Barang dari Kawasan Berikat ke TLDDP
Kawasan Berikat merupakan perusahaan dalam negeri, sehingga merupakan hal yang wajar jika terlibat transaksi bisnis dengan perusahaan di TLDDP, seperti subkontrak, peminjaman mesin, perbaikan mesin, pengetesan, dsb. Atas barang yang berasal dari Luar Daerah Pabean (eks BC 2.3) dapat dikeluarkan sementara ke TLDDP untuk tujuan tertentu (sub kontrak, perbaikan mesin, pengetesan, peminjaman, dsb.) dengan menggunakan dokumen BC 2.6.1. Pengeluaran barang ini dilakukan pemeriksaan pabean berdasar manajemen risiko. Pengeluaran barang dengan BC 2.6.1 meskipun ke TLDDP, tidak perlu melunasi Bea Masuk, namun harus menyerahkan jaminan, dikarenakan pengeluaran hanya bersifat sementara (impor sementara). Untuk barang yang berubah wujud (untuk diolah) harus melampirkan konversi bahan baku menjadi hasil produksi. Barang yang telah selesai dikerjakan di TLDDP harus dikembalikan ke Kawasan Berikat dengan BC 2.6.2 dan dilakukan pemeriksaan pabean berdasar manajemen risiko. Dalam hal barang sesuai maka jaminan dikembalikan, jika tidak maka jaminan dicairkan dan dikenakan denda.
Gambar 4
Pemasukan Barang dari TLDDP ke Kawasan Berikat
Kawasan Berikat dapat memasukan barang dari TLDDP untuk keperluan tertentu (bahan baku/mesin yang dimasukkan ke Kawasan Berikat). Pemasukan barang dari TLDDP ke TPB menggunakan dokumen BC 4.0. Atas Pemasukan ini TPB mendapatkan fasilitas tidak dipungut PPN. Atas pemasukan barang ke TPB dari TLDDP dilakukan pemeriksaan pabean berdasarkan manajemen risiko.
Gambar 5
Pengeluaran Barang (Eks BC 4.0) dari Kawasan Berikat ke TLDDP
Atas barang dari TLDDP yang dimasukan ke Kawasan Berikat dengan menggunakan dokumen BC 4.0, dapat dikeluarkan kembali ke TLDDP. Atas pengeluaran barang tersebut harus menggunakan dokumen BC 4.1, dengan dilakukan pelunasan atas PPN yang pada saat masuk tidak dipungut. Barang yang dikeluarkan dengan dokumen BC 4.1 dilakukan pemeriksaan pabean berdasarkan manajemen risiko.
Gambar 6
Pengeluaran Barang dari Kawasan Berikat ke Kawasan Berikat Lainnya
atau TPB Lainnya (Perpindahan Antar TPB)
Barang yang dipindahkan dari Kawasan Berikat yang satu ke Kawasan Berikat lainnya atau TPB yang lain maka fasilitas yang didapat pada saat masuk ke TPB pengirim masih melekat dan tanggung jawab Bea Masuk berpindah dari Kawasan Berikat pengirim ke Kawasan Berikat tujuan atau TPB tujuan lainnya. Fasilitas yang dimaksud yaitu penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, dan/atau tidak dipungut PDRI untuk barang yang berasal dari LDP (eks BC 2.3) atau tidak dipungut PPN untuk barang dari lokal (eks BC 4.0). Pada saat pengeluaran dari Kawasan Berikat pengirim dilakukan pemeriksaan pabean berdasarkan manajemen risiko dan dipasang tanda pengaman berupa segel kepabeanan. Pada saat pemasukan ke Kawasan Berikat tujuan atau TPB tujuan lainnya dapat dilakukan pemeriksaan pabean dan dilakukan pengecekan terhadap kondisi segel kepabeanan.
Gambar 7
Pengeluaran Barang dari Kawasan Berikat untuk Ekspor
Pengeluaran barang dari TPB, baik barang yang berasal dari LDP ataupun dari TLDDP, ke LDP menggunakan dokumen BC 3.0. Adapun tata cara atau prosedurnya sesuai dengan Tata Laksana Ekspor, yang antara lain dalam dokumen PEB wajib mencantumkan kategori ekspor adalah Fasilitas Tempat Penimbunan Berikat sebagai Kawasan Berikat.
Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis) mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana (PPID, 2016).
Surat dakwaan dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kedudukannya sebagai penuntut umum menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan serta menjadi dasar Hakim melakukan pemeriksaan. Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana hanya dalam batas-batas di dalam surat dakwaan (Hamzah, 2015).
Jaksa yang bertindak sebagai pengacara negara harus menguasai ilmu hukum, bidang teknis, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan fasilitas Kawasan Berikat pada Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas periode 2015-2021, JPU kurang memahami substansi hukum kepabeanan khususnya tentang fasilitas Kawasan Berikat serta pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Berikat.
Kasus ini bermula dari PT HGI mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat dari KPPBC TMP A Semarang dan melakukan impor bahan baku tekstil dari Tiongkok melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas. Bahan baku tekstil impor tersebut seharusnya diolah di dalam Kawasan Berikat menjadi barang hasil produksi dan kemudian dilakukan penjualan dalam negeri maupun ekspor, namun PT HGI tidak melakukan kegiatan pengolahan bahan baku tekstil tersebut, malah mengekspor kembali bahan baku impor tersebut, sehingga diduga dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kejaksaan menduga ada keterlibatan Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) TMP A Semarang; Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan KPPBC Semarang; Kepala Seksi Intelijen Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dalam menerbitkan Surat Persetujuan Re-ekspor. Apabila Pejabat Bea Cukai tidak memberikan persetujuan re-ekspor, maka kontainer dapat dimasukkan dalam BC 2.0 dengan membayar Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) atau dapat ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD) apabila tidak diurus lebih dari 30 (tiga puluh) hari.
Dasar pertimbangan JPU adalah re-ekspor harus mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.04/2007 tentang Ekspor Kembali Barang Impor. JPU tidak mempertimbangkan apakah barang tersebut masih berada di dalam Pelabuhan Bongkar atau sudah keluar dari Pelabuhan Bongkar atau sudah berada di dalam Kawasan Berikat. Apabila barang tersebut masih berada di dalam Pelabuhan Bongkar maka tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.04/2007 tentang Ekspor Kembali Barang Impor, sedangkan apabila barang sudah keluar dari Pelabuhan Bongkar atau sudah berada di dalam Kawasan Berikat maka tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat jo. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 57/BC/2011 tentang Kawasan Berikat.
PMK No. 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat jo. Perdirjen No. 57/BC/2011 tentang Kawasan Berikat tidak ada persyaratan limitatif sebagaimana PMK No. 149/PMK.04/2007 tentang Ekspor Kembali Barang Impor. Persyaratan limitatif yang dimaksud yaitu tidak sesuai dengan yang dipesan; salah kirim; rusak; atau oleh karena suatu ketentuan pemerintah tidak boleh diimpor.
Pembatalan BC 2.3 disetujui karena bahan baku tekstil tersebut akan diekspor kembali dengan alasan cancel order. Hingga saat ini cancel order masih lazim digunakan sebagai alasan ekspor kembali barang impor (re-ekspor). Pembatalan BC 2.3 dapat dilakukan karena barang yang diajukan pembatalannya masih berada di dalam Tempat Penimbunan Pabean (TPP) Tripandu dan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) JICT yang masih dalam kawasan pabean di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok. Tujuan pembatalan BC 2.3 untuk mengembalikan status menjadi BC 1.1. Setelah statusnya kembali menjadi BC 1.1, maka terhadap pos BC 1.1 dapat ditutup/diselesaikan dengan BC 2.0, BC 3.0 re-ekspor, atau tidak diselesaikan.
Para Terdakwa didakwa dengan dakwaan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak mengatur secara tegas mengenai apa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara. Pasal 82 ayat (6), Pasal 102 huruf f, Pasal 102A huruf b, dan Pasal 103A ayat (2) Undang-Undang Kepabeanan hanya memuat frasa “mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara”.
Menurut ketentuan Pasal 82 ayat (6), Pasal 102 huruf f, dan Pasal 102A huruf b Undang-Undang Kepabeanan, perbuatan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berupa:
Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor memuat frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Sisipan kata “dapat” di depan kalimat “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” telah menjadikan rumusan tindak pidana korupsi menjadi pukat harimau yang siap memangsa lawan-lawannya, jika tidak dipertegas dengan metode penafsiran yang bersifat limitatif.
Persepsi JPU bahwa kegiatan re-ekspor yang dilakukan oleh PT HGI dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut hemat penulis, tidak ada nilai kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara riil atau nyata (actual loss). PT HGI selaku penerima fasilitas Kawasan Berikat diberikan fasilitas kepabeanan dan perpajakan berupa insentif penangguhan Bea Masuk; tidak dipungut PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22; serta pembebasan cukai, dan/atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor untuk dipakai.
JPU hanya memprediksi potensi penerimaan perpajakan yang akan diperoleh negara dari Bea Masuk; PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 jika bahan baku tekstil impor tersebut diolah di dalam Kawasan Berikat menjadi barang hasil produksi dan kemudian dilakukan penjualan dalam negeri atau ekspor. JPU luput memperhitungkan bila barang tersebut diproduksi dan direalisasikan ekspornya, maka negara tidak memperoleh penerimaan apapun dari sektor perpajakan terhadap bahan baku tekstil impor tersebut. Tidak diperolehnya penerimaan negara karena realisasi ekspor merupakan hal yang lazim, karena tujuan Kawasan Berikat untuk menggiatkan investasi dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Bahan baku dan/atau bahan penolong impor mendapatkan fasilitas kepabeanan dan perpajakan dengan tujuan agar investor berniat berinvestasi dengan membangun pabrik di Indonesia, serta memperoleh barang yang mempunyai harga saing di pasar internasional. Intinya dalam kondisi ekspor, negara tidak memperoleh penerimaan secara langsung dari kepabeanan dan perpajakan, sehingga tidak ada nilai kerugian (potential loss) akibat tidak terpenuhinya pungutan negara.
Daftar Pustaka
Buku
Hamzah. (2015). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Sugianto dan Arfin. (2022). Mengenal Fasilitas Kawasan Berikat. Jakarta: Asosiasi Profesi Widyaiswara Indonesia.
Internet
PPID. (2016, Juli 22). Kejaksaan dari Masa ke Masa. Retrieved from https://ppid.menlhk.go.id/berita/berita-pemerintah/2620/kejaksaan-dari-masa-ke-masa/
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik