home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Horas BDK Medan
Instagram
Youtube
Tiktok
Facebook
Twitter
Pengaduan Online
Gagasan Pajak Penghasilan UMKM E-Commerce
Balai Diklat Keuangan Medan
Kamis, 7 November 2019 07:36 WIB
Muhammad Rifky Santoso
Widyaiswara BDK Medan
Abstract
E-commerce di Indonesia berkembang pesat, namun barang yang diperdagangkan merupakan barang impor dan sedikitnya peran UMKM dalam e-commerce di Indonesia ini. Melalui peraturan perpajakan yang berupa insentif diharapkan bisa meningkatkan daya saing UMKM e-commerce dan bertambahnya produk lokal di perdagangkan di e-commerce Indonesia. Tentunya insentif ini diberikan secara selektif dengan kriteria tertentu. Perlu kerja sama antara Direktorat Jenderal Pajak dengan pengusaha market place dalam penerapan insentif ini.
Keywords: batasan tertentu, produk lokal, insentif pajak, market place.
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia melihat bahwa transaksi e-commerce berkembang pesat di Indonesia. Namun demikian, banyak permasalahan e-commerce di Indonesia sehingga salah satu isu yang menjadi perhatian pemerintah adalah pelaku usaha yang merupakan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan produk yang diperdagangkan. Fakta ini dipaparkan oleh Mohammad Rosihan[1] pada Seminar E-commerce di Era Ekonomi Digital: Peluang dan Tantangan yang diadakan di Medan pada tanggal 17 September 2019. Pemerintah berkeinginan agar UMKM ini mendapat manfaat yang besar dari e-commerce dan produk yang diperdagangkan adalah produk lokal. Untuk mencapai tujuan ini, banyak cara dan kebijakan yang bisa dibuat pemerintah. Artikel ini memberikan gagasan melalui kebijakan perpajakan sehingga UMKM mendapatkan manfaat dari e-commerce dan produk lokal dapat berkembang perdagangannya.
Bagi UMKM yang menjual barang dagangannya melalui e-commerce dan market place, bisa diberikan insentif pembebasan pajak penghasilan bila jumlah penjualan mencapai batasan tertentu pada satu tahun pajak. Nilai batasan tertentu ini disarankan masih dibawah sebesar Rp.4,8 milyar sebagaimana di atur dalam PP 23 tahun 2018. Selain itu, UMKM yang bisa mendapatkan insentif ini harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti patuh dalam pelaporan pajak, menjual produk lokal dengan komposisi lebih besar 50% dari total penjualan dalam rupiah, dan pembayaran penjualan melalui uang elektronik, misalnya e-money.
Selain insentif berupa pembebasan pajak penghasilan, pembayaran pajak bisa dipermudah dengan cara pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh pengusaha market place. Adanya pembayaran pajak melalui pemungutan ini tentunya berlaku bagi UMKM yang omsetnya melebihi jumlah batasan tertentu yang diberikan insentif pajak.
Pembahasan
E-commerce merupakan salah satu bagian dari ekonomi digital. Transaksi bisnis ritail secara online, yang merupakan e-commerce, merupakan transaksi yang terbesar dari ekonomi digital. Data transaksi dari anggota idEA[2] yang disampaikan oleh Bima Laga[3] menunjukkan bahwa transaksi bisnis ritail secara online sebesar 48% dari seluruh transaksi ekonomi digital. Data lengkapnya terlihat di Tabel 1. Bima Laga juga menjelaskan bahwa per Januari 2019, pengguna e-commerce di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dari total pengguna internet. Data yang disampaikan oleh Bima Laga ini berasal dari Globalwebindex. Sebanyak 86% dari pelaku internet yang melakukan transaksi e-commerce terdapat di Indonesia. Sedangkan rata-rata seluruh dunia, hanya 75% pengguna internet yang melakukan transaksi e-commerce. China yang merupakan ranking kedua hanya memiliki sebesar 82% dari pelaku internetnya yang melakukan transaksi e-commerce. Terbukti bahwa e-commerce berkembang sangat pesat di Indonesia dan akan terus tumbuh karena tumbuhnya investasi pada industri teknologi di Indonesia.
Tabel 1. Komposisi Tranksaksi Ekonomi Digital Anggota idEA Per Februari 2019
Penjualan Ritail Online
Market Place
Infrastruktur
Travel
Iklan
Gerbang Pembayaran Transaksi Online
Lainnya
48%
16%
10%
7%
6%
7 %
Sumber: idEA
Lainnya terdiri atas logistik, bank, penyediaan tempat usaha berupa situs, dan direktori.
Besar dan tumbuhnya e-commerce di Indonesia, harusnya dirasakan manfaatnya oleh semua rakyat Indonesia. Pemerintah ingin agar pelaku e-commerce yang UMKM (UMKM e-commerce) naik kelas dan dapat bersaing dengan pelaku e-commerce dari luar negeri.[4] Selain itu, pemerintah ingin agar barang yang diperdagangkan adalah produk lokal. Saat ini, banyak produk yang diperdagangkan adalah barang impor baik yang diimpor langsung maupun barang impor yang dijual oleh pelaku e-commerce dalam negeri.[5] Direktorat Bea Cukai banyak menemukan barang impor yang dimasukkan sebagai barang kiriman dan di-split (pecah) sehingga tidak dikenakan pajak (nilainya dibawah $750). Dari slide yang disampaikan Djanurindo Wibowo pada seminar e-commerce, diketahui bahwa dari data bulan Agustus 2019, Direktorat Bea Cukai menemukan 14.397 dokumen yang melakukan pemecahan dokumen agar barang yang masuk tidak dikenakan pajak.
Banyak hal yang perlu dilakukan agar UMKM e-commerce bisa bersaing dan memperdagangkan produk lokal di e-commerce Indonesia. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah optimalisasi pendanaan untuk UMKM, penyederhanaan kewajiban perpajakan, perlindungan konsumen dan pelaku industri, edukasi masyarakat dan pengambil kebijakan e-commerce, peningkatan infrastruktur komunikasi sebagai fondasi e-commerce, peningkatan efisiensi logistik e-commerce, dan penguatan sistem keamanan siber untuk keamanan transaksi online[6]. Artikel ini akan fokus pada sektor perpajakan saja. Selain penyederhanaan pajak, artikel ini memberikan gagasan perlunya insentif pajak untuk UMKM yang melakukan usaha melalui e-commerce agar bisa memperdagangkan produk lokal.
Saat ini, belum ada peraturan pajak yang khusus untuk UMKM e-commerce yang fungsinya untuk mengatur (regulered) pencapaian keinginan pemerintah agar UMKM bisa kuat dalam memperdagangkan produk lokal melalui e-commerce. Peraturan pajak yang sederhana adalah PP 23 tahun 2018 untuk semua UMKM. PP 23 tahun 2018 ini belum bisa mendorong UMKM e-commerce untuk melakukan perdagangan barang lokal yang diinginkan pemerintah. PP 23 tahun 2018 bertujuan untuk memudahkan dan menyederhanakan penghitungan dan pembayaran pajak untuk semua UMKM. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk dibuat insentif pajak khusus agar UMKM e-commerce bisa memperdagangkan produk lokal. Insentif ini mendorong Wajib Pajak UMKM e-commerce bisa berkembang karena harus patuh dalam kewajiban perpajakan yang bisa membuat UMKM tenang dalam berbisnis, memperkuat peran market place dalam membantu UMKM e-commerce, dan pembayaran melalui uang elektronik dapat mengurangi kecurangan.
Kriteria Wajib Pajak UMKM E-commerce Penerima Insentif
Tulisan ini memperkenalkan gagasan bahwa UMKM e-commerce bisa diberikan insentif berupa pembebasan pembayaran pajak bila UMKM e-commerce ini mempunyai omset tidak lebih dari jumlah tertentu dalam satu tahun pajak, misalnya Rp. 1 milyar setahun. Jumlah batasan tertentu ini tentunya akan menjadi perdebatan. Besaran batasan tertentu ini bisa didiskusikan dengan menggunakan kriteria tertentu, seperti tingkat biaya hidup dan/atau tipe wajib pajak. Dianjurkan nilai batasan tertentu ini dibawah nilai Rp.4,8 milyar sebagaimana yang ada pada PP 23 tahun 2018. Wajib Pajak UMKM e-commerce yang dapat insentif ini harus memenuhi semua persyaratan, yaitu:
Pelunasan Pajak Penghasilan
Saat ini UU Pajak Penghasilan (PPh) memberikan 2 cara pelunasan atas PPh terutang, yaitu dengan membayar sendiri dan melalui pemotongan dan/atau pemungutan. Untuk Wajib Pajak UMKM e-commerce yang mendapat insentif pajak ini, tentunya tidak ada PPh yang harus dilunasi karena dibebaskan dari utang pajak penghasilan.
Kebijakan pelunasan pajak bisa diberikan ke Wajib Pajak, selain yang dapat insentif pembebasan pajak penghasilan, yang melakukan perdagangan barang lokal melalui market place yang ditetapkan Kementerian Keuangan. Direktorat Jenderal Pajak bisa membuat peraturan pelunasan melalui pemungutan PPh Pasal 22. Dengan mekanisme ini, maka wajib pajak yang melakukan perdagangan dengan e-commerce (Wajib Pajak e-commerce) akan dipermudah urusan pelunasan pembayaran pajak penghasilannya. Dalam hal ini pemungut PPh Pasal 22 adalah market place. Tentunya akan menjadi tantangan tersendiri karena akan merepotkan pengusaha market place. Di pihak lain, pemungutan PPh Pasal 22 oleh market place akan memudah Negara dalam memastikan penerimaan pajak penghasilan. Pengusaha market place yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, seperti patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan bersedia memberikan data wajib pajak UMKM e-commerce yang melakukan transaksi melalui market place tersebut. Insentif yang diberikan ke pemungut PPh Pasal 22, dalam hal ini pengusaha market place, adalah diberikan jangka waktu yang cukup lama untu menyetorkan PPh Pasal 22 yang dipungut, misalnya paling lama tanggal 20 bulan berikutnya.
Bila Wajib Pajak UMKM e-commerce ini dikenakan PPh berdasarkan PP 23 tahun 2018, maka sifatnya final. Jika Wajib Pajak UMKM e-commerce ini tidak berhak lagi menggunakan PP 23 tahun 2018 dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, maka PPh Pasal 22 yang dipungut oleh market place bisa sebagai kredit pajak. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pengusaha market place ini hanya dilakukan kepada Wajib Pajak e-commerce baik yang omsetnya tidak lebih dari Rp.4,8 milyar maupun yang lebih dari Rp.4,8 milyar setahun, omsetnya lebih besar dari batasan tertentu (misalnya Rp. 1 milyar setahun), dan memenuhi kriteria sebagaimana dijelaskan pada bagian Kriteria Wajib Pajak UMKM E-commerce Penerima Insentif di tulisan ini,
Kesimpulan
Kebijakan perpajakan bisa sebagai sarana untuk meningkatkan peran dan daya saing UMKM pada perdagangan e-commerce dan menjadikan produk lokal yang diperdagangkan di e-commerce Indonesia. Tulisan ini memberikan gagasan kebijakan pajak yang fungsinya lebih cenderung ke sifat mengatur (regulered) dibandingkan untuk penerimaan Negara (budgeter). Kebijakan perpajakan yang digagas ini berupa tidak dikenakan pajak bila UMKM e-commerce ini omsetnya tidak lebih dari batasan tertentu, misalnya Rp.1 milyar, dan kriteria lain. Kriteria lain adalah WP dalam negeri, merupakan WP patuh, melakukan penjualan melalui market place, WP bergerak dalam usaha industri yang menggunakan bahan baku lokal dan tenaga kerja warga Negara Indonesia, dan menggunakan uang elektronik dalam melakukan pembayaran.
Bagi Wajib Pajak UMKM e-commerce yang mendapatkan insenstif, tentunya tidak ada pajak penghasilan yang terutang. Bagi Wajib Pajak e-commerce yang memenuhi kriteria pada tulisan ini tapi omsetnya setahun lebih dari batasan tertentu (misalnya Rp.1 milyar setahun), maka pelunasan PPh terutang melalui pemungutan PPh Pasal 22. Disarankan sebagai pemungut PPh Pasal 22 adalah pengusaha market place yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan.
[1] Mohammad Rosihan, tenaga ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, merupakan narasumber pada Seminar E-commerce di Era Ekonomi Digital: Peluang dan Tantangan yang di adakan di Medan pada tanggal 17 September 2019. Narasumber lainnya adalah Djanurindo Wibowo dari Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan RI, Arnaldo Purba dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Bima Laga dari Bukalapak, dan Noviandri Nurlaili Khairina dari PT. Dompet Anak Bangsa (GO-PAY).
[2] Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA – Indonesian E-Commerce Association) merupakan wadah komunikasi antar pelaku industri E-Commerce Indonesia.
[3] Associate Vice President Public Policy & Government Relation di Perusahaan Bukalapak.
[4] Keinginan pemerintah ini disampaikan oleh Mohammad Rosihan, Tenaga Ahli Senior Bidang Perdagangan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia secara lisan pada Seminar E-commerce yang diadakan di Medan pada tanggal 17 September 2019
[5] Disampaikan oleh Mohammad Rosihan dan Djanurindo Wibowo pada Seminar E-commerce yang diadakan di Medan pada tanggal 17 September 2019.
[6] Peta Jalan e-commerce pada Peraturan Presiden No. 74 tahun 2017.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik