home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Instagram
Facebook
Twitter
Youtube
Layanan Informasi Publik
Daftar Informasi Publik
Layanan Informasi dan Pengaduan di BDK Balikpapan
Implementasi Kebijakan Responsif Gender di Bea Cukai Dobrak Maskulinitas dalam Aktivitas Kepabeanan
Balai Diklat Keuangan Balikpapan
Jumat, 9 September 2022 13:38 WIB
Aktivitas kepabeanan berhubungan dengan pelayanan dan pengawasan barang, yang masuk atau keluar dari daerah pabean, sesuai aturan yang berlaku. Di Indonesia, aktivitas ini menjadi warisan sejarah perjalanan bangsa sejak zaman kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara. Dahulu kala, pelabuhan menjadi pintu gerbang keluar dan masuknya barang di bawah kewenangan seorang syahbandar, yang bertugas mengawasi arus barang di pelabuhan, pasar, dan gudang. Selain itu, syahbandar turut meneliti timbangan, ukuran dagang, dan mata uang yang dipertukarkan dalam perdagangan. Ia pula yang menaksir barang dagangan yang dibawa dan menentukan pajak yang harus dipenuhi. Peran syahbandar dianggap krusial hingga dikukuhkan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda dan dilembagakan dalam De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnze atau Jawatan Bea Impor dan Ekspor serta Cukai, yang bertugas memungut bea masuk, bea keluar, dan cukai. Setelah Indonesia merdeka, secara resmi Pejabatan Bea dan Cukai berdiri pada tanggal 01 Oktober 1945, yang saat ini menjadi unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan dengan nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Tak hanya nama dan status kelembagaannya yang berubah, aktivitas kepabeanan saat ini pun telah jauh berbeda. Dulu, tugas kesyahbandaran lekat dengan kesan maskulin, karena berlangsung di pelabuhan yang dipenuhi oleh laki-laki yang berprofesi sebagai pelaut, kuli panggul, dan centeng gudang, hingga memunculkan impresi sebagai kegiatan agresif yang hanya dapat dipenuhi oleh laki-laki dewasa dengan fisik dan mental yang kuat. Namun, seiring perkembangan zaman dan pesatnya perdagangan internasional, lingkup tugas kepabeanan semakin luas.
Tak hanya mengawasi dan menegakkan hukum di bidang kepabeanan, instansi kepabeanan di negara ini juga bertugas merumuskan kebijakan, melayani dan memfasilitasi para pelaku usaha dan industri, dan mengoptimalkan penerimaan negara di bidang kepabeanan, sesuai ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut tentunya berdampak langsung terhadap komunitas perdagangan, sehingga kebijakan dan prosedur kepabeanan harus mempertimbangkan kepentingan setiap kalangan, misalnya perdagangan skala kecil dan akses perbatasan, serta fasilitasi dan akses kemudahan bagi mitra kerja kepabeanan yang masuk dalam golongan rentan, misalnya perempuan hamil, kaum disabilitas, dan lanjut usia. Bea Cukai mewujudkan hal tersebut melalui kebijakan responsif gender, yang mengakomodasi kebutuhan, permasalahan, pengalaman, dan apirasi laki-laki dan perempuan, termasuk kaum rentan, seperti lansia, disabilitas, anakanak, dan mereka yang berkebutuhan/kesulitan khusus (social inclusion). Kebijakan tersebut juga bersifat layanan/customer’s perspective dan mengurangi kesenjangan peran antara lakilaki dan perempuan.
Melalui kebijakan responsif gender, Bea Cukai ingin mewujudkan kesetaraan agar tercipta keadilan bagi semua pihak. Kebijakan resposif gender sejalan dengan strategi pengarusutamaan gender (PUG) pemerintah yang tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional. Implementasinya sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 807/KMK.01/2018 tentang Pedoman Implementasi PUG di Lingkungan Kementerian Keuangan dan dilaksanakan dengan berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor KEP-133/BC/2021 tentang Panduan Implementasi Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tak tanggung-tanggung, implementasi kebijakan ini dimonitor melalui pengisian SIPEGIKU dan dievaluasi menggunakan Gender Equality Organizational Assessment Tools (GEOAT) yang Yella Meisha Indika Pelaksana pada Direktorat Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Volume 54, Nomor 09, September 2022 - Warta Bea Cukai | 9 OPINI disusun oleh World Customs Organization (WCO), yaitu alat evaluasi implementasi kebijakan responsif gender yang sudah berjalan dan disusun berdasarkan karakteristik tugas dan fungsi administrasi kepabeanan.
Bea Cukai juga telah melakukan analisis kesenjangan gender melalui pelaksanaan tugas dan fungsinya, baik kepada pihak eksternal maupun internal, yang kemudian dibuatkan Gender Analysis Pathway (GAP) dan direncanakan kebijakan solusinya. Melalui implementasi kebijakan responsif gender yang baik, Bea Cukai diharapkan dapat menjadi contoh bagi administrasi kepabeanan di seluruh dunia untuk dapat berlaku inklusif dan aktif mengemukakan kesetaraan gender. Salah satu program yang menjadi implementasi kebijakan responsif gender di Bea Cukai ialah pengembangan sistem National Logistic Ecosystem (NLE) yang berguna dalam memperlancar akses arus lalu lintas barang, informasi, dan dokumen dalam ekosistem logistik. NLE menciptakan sistem logistik yang terintegrasi dari hulu hingga hilir dan mempermudah para pelaku usaha dari seluruh latar belakang untuk melakukan aktivitas kepabeanan, karena semua pekerjaan bisa dilakukan dari mana saja, bahkan melalui gawai masing-masing, jadi tidak perlu datang ke pelabuhan. Stigma yang selama ini ada di dunia usaha, yaitu hanya laki-laki yang bisa keluar masuk pelabuhan untuk mengurus logistik pun mulai terkikis dengan diterapkannya sistem ini. Sekarang, semua pelaku usaha, termasuk perempuan, lanjut usia, dan yang berkebutuhan khusus, bisa mendapatkan akses yang sama dan berpartisipasi di dalam kegiatan ekspor dan impor. Lebih dari itu, NLE membuka akses dan kesempatan yang lebih luas bagi para petugas perempuan untuk berkiprah di bidang pelayanan dan pengawasan kepabeanan.
Terbentuknya platform sistem logistik nasional dengan ruang lingkup simplifikasi proses bisnis pemerintah, kolaborasi platform swasta, kemudahan pembayaran dan fasilitasi pembiayaan, serta penataan tata ruang dan infrastruktur sebagai hasil pengembangan sistem NLE telah mengurangi dominasi petugas laki-laki dalam pelaksanaan tugas pelayanan dan pengawasan. Hal ini pun mendorong terpenuhinya penyempurnaan struktur organisasi di Bea Cukai, yang salah satunya dilaksanakan dengan penyeimbangan sumber daya manusia jumlah pegawai laki-laki dan perempuan. Jika dilihat dari demografi perkembangan jumlah pegawai laki-laki dan perempuan di Bea Cukai, tren jumlah pegawai pada tahun 2019 mencatat jumlah perempuan 17% dan pegawai laki-laki 83%, lalu di tahun 2020 jumlah perempuan sebanyak 18% sedangkan jumlah pegawai laki-laki sebanyak 82%. Data tersebut menunjukkan signifikansi peningkatan jumlah pegawai perempuan yang patut diapresiasi dan perlu terus dikawal ke depannya agar akses penerimaan pegawai di instansi ini tetap terbuka untuk semua kalangan. Hal di atas dilakukan demi terwujudnya organisasi yang efektif, efisien, dan responsif dalam menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis, menjawab perkembangan dan tuntutan masyarakat, serta dalam mewujudkan pelaksanaan reformasi birokrasi dan good governance. Tentunya, adanya kebijakan responsif gender di tubuh Bea Cukai tak akan cukup tanpa komitmen pimpinan dan dukungan dari para pemangku kepentingan. Akhirnya, kita berharap implementasinya menjadi suatu sistem berkelanjutan yang perlu terus diperbarui agar dapat mendukung tugas dan fungsi instansi dan menghilangkan seluruh stigma dalam aktivitas kepabeanan.
(Yella Meisha Indika)
Sumber: Warta Bea Cukai Volume 54, Nomor 09, September 2022
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik