home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Sub Menu 1
Sub Menu 2
Sub Menu 3
Sub Menu 4
Sub Menu 5
Piramida Terbalik Pengeluaran Keuangan Keluarga
Balai Diklat Keuangan Palembang
Kamis, 16 Mei 2019 07:28 WIB
Kegagalan mengelola keuangan keluarga, dapat menyebabkan masalah keluarga yang berujung perceraian. Indonesia berada di darurat perceraian. Setiap satu jam,empat puluh sidang perceraian terjadi di Indonesia. Data dari Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat, tahun 2014 terjadi 344.237 perceraian, dan jumlahnya naik menjadi 365.633 di tahun 2016. Rata-rata angka perceraian naik 3 persen per tahunnya. Walhasil, tingginya angka perceraian di Indonesia, menjadi yang tertinggi se-Asia Pasifik.
Fakta serius ini membuat Kemenag bekerja sama dengan BKKBN, Kemenkes, dan Pengamat Hubungan Keluarga, menyelenggarakan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) kepada calon pengantin. Selama tahun 2017, sudah 149.000 pasangan yang mengikuti Bimwin ini.
Salah satu penyebab perceraian yang disebutkan dalam berbagai literatur, baik itu buku, jurnal, atau media massa adalah, dikarenakan masalah ekonomi. Bahkan data Dirjen Badilag mencatat, pada tahun 2011, masalah ekonomi ini menjadi penyebab pertama perceraian di Indonesia, dimana 70%-nya dimulai dengan gugat cerai atau permintaan istri.
Terkait ekonomi, terdapat dua jenis penyebab krisis keluarga, yaitu pertama dikarenakan kemiskinan dan kedua dikarenakan pola gaya hidup. Kemiskinan jelas berdampak terhadap kehidupan sebuah keluarga.Berbagai program pemerintah pun telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan ini. Yang kedua, karena pola gaya hidup. Penyebab yang kedua ini bisa dikarenakan pola pikir yang salah atau literasi keuangan yang rendah (less or not literate).
Literasi keuangan sendiri adalah kecakapan atau kesanggupan dalam hal keuangan, termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan.
Hasil survei terakhir OJK Tahun 2016 terkait literasi keuangan menyebutkan, bahwa tingkat literasi keuangan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal inilah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab perceraian di Indonesia, dikarenakan 75% pengelolaan keuangan rumah tanggadilakukan oleh istri.
Kecakapan dalam mengelola keuangan sangat menentukan kecukupan keuangan masa kini dan masa depan. Semakin cakap mengelolanya, semakin sejahtera keluarganya, semakin turun pula angka perceraiannya.
Kelola Keuangan dengan Piramida Terbalik
Ada dua kiat untuk mengelola keuangan di dalam keluarga. Kiat pertama, anggota keluarga wajib memahami dan membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want). Prioritaskan kebutuhan daripada keinginan.
Sekarang ini, batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi semakin kabur. Hal tersebut disebabkan oleh adanya iklan produk yang setiap hari, makin sering frekuensinya dan makin kreatif penayangannya. Akibatnya, hal yang tadinya dianggap keinginan mewah, perlahan berubah menjadi keinginan yang wajar.Tak jarang akhirnya kebutuhan yang lebih penting malah menjadi prioritas belakangan.
Kiat kedua adalah perubahan pola pikir dan gaya hidup dalam pengeluaran, yang dapat digambarkan dalam sebuah piramida terbalik dengan empat tingkatan.
Tingkatan pertama, jika selama ini yang menjadi pos pengeluaran pertama adalah pos untuk belanja, maka mulai sekarang diubah cara pengalokasiannya. Pengeluaran pertama adalah untuk zakat, infak, shodaqoh (ZIS). Besaran minimalnya 2,5% dari pendapatan kotor.
Pendapatan yang didapat langsung dialokasikan atau dipisahkan untuk ZIS.Jangan merasa terbebani akan hal ini, karena ZIS akan membersihkan dan menumbuhkan harta lewat jalan yang tidak terduga.Hal ini juga menjadi tanda bahwa kita taat dalam beragama.
Tingkatan kedua adalah pos untuk tabungan darurat. Tabungan darurat ini normalnya sebesar tiga kali pendapatan. Jika pendapatan kita sebesar Rp5 juta, maka tabungan darurat ini besarnya Rp15 juta, dan cara untuk mencapai Rp15 juta adalah dengan cara mencicil, setiap bulan minimal 2,5% – 5% dari pendapatan. Pos ini dipergunakan untuk kejadian-kejadian tidak terduga, seperti kecelakaan, sakit, dan lain-lain.
Tingkatan ketiga adalah pos investasi atau menabung, serta tingkatan keempat terkait pos belanja dan cicilan (jika ada). Kedua pos ini sebenarnya tarik menarik, tergantung kesepakatan keluarga.Mau lebih besar investasinya atau lebih besar belanjanya.Namun, jika merencanakanuntuk mengajukan pinjaman yang nanti akan dicicil, maka besaran cicilan maksimalnya adalah 30% dari pendapatan bulanan.
Pos investasi hendaknya diprioritaskan untuk sektor riil. Misal, membantu membelikan mesin jahit untuk sanak keluarga yang masih menganggur, yang nantinya berpotensi agar kita bisa membuka usaha rumah jahit. Contoh lain adalah membelikan sepeda motor, untuk dipakai ojek daring, dan lain-lain.
Sebagai simulasi, misal disepakati untuk pos investasi atau menabung sebesar 10%, maka pos belanjanya adalah sebesar 50%.Angka pos belanja ini yang didapat dari 100% - (5% ZIS + 5% tabungan darurat + 30% cicilan). Atau jika disepakati pos investasi atau menabung sebesar 20%, maka pos belanja menjadi 40%. Ingat, pos belanja ini tetap diprioritaskan untuk hal–hal yang sifatnya kebutuhan (need)terlebih dahulu, baru memenuhi keinginan (want).
Sebagai penutup, ada perkataan pakar ekonomi syariah yaitu Prof. Dr. Syafii Antonio, yang beliau menukil hadis Rasulullah Muhammad SAW. “Sangat dirahmati oleh Allah SWT, orang yang dapat rezeki dengan halal lagi thoyib (baik), membelanjakannya dengan hemat, kemudian menabung (investasi) untuk masa depannya.”
Selamat mencoba, semoga bermanfaat.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik