home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Sub Menu 1
Sub Menu 2
Sub Menu 3
Sub Menu 4
Sub Menu 5
PENJUALAN KEKAYAAN DAERAH YANG DIPISAHKAN DI MATA PERATURAN PERUNDANGAN KEUANGAN NEGARA oleh Dr. Achmat Subekan, S.E., M.Si.
Balai Diklat Keuangan Malang
Senin, 22 April 2019 06:56 WIB
Beberapa waktu yang lalu, pemberitaan mengenai rencana penjualan saham milik Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta oleh Gubernur DKI banyak mendapat sorotan di media massa. Media elektronik ataupun media cetak cukup banyak yang memberikan perhatian terhadap rencana tersebut. Jagad media sosial juga tidak kalah ramai membicarakannya. Secara umum, rencana penjualan saham tersebut menuai pro dan kontra, tidak kurang dari DPRD DKI sendiri. Pimpinan lembaga wakil rakyat DKI tersebut tidak setuju terhadap rencana tersebut. Tulisan ini tidak akan membahas mengenai pro dan kontra terhadap penjualan saham Pemerintah Provinsi DKI yang dimiliki di perusahaan Anker BIR. Apalagi meninjaunya dari sudut pandang politik, sama sekali tidak. Tulisan ini akan melihatnya berdasarkan peraturan perundangan yang mengatur tentang itu.
Dalam struktur pemeritahan NKRI, DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi sehingga keuangan yang dikelolanya merupakan keuangan daerah dan menjadi bagian dari keuangan negara. Dengan demikian, pengelolaan keuangannya juga tunduk pada peraturan perundangan yang mengatur tentang keuangan negara. Beberapa peraturan perundangan yang mengatur keuangan negara/daerah adalah: 1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, 2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, 3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah, 4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah (dan perubahan-perubahannya), dan sebagainya. Peraturan-peraturan tersebut tidak hanya mengatur tentang pengelolaan uang negara/daerah, tetapi juga mengatur pengelolaan barang/kekayaan negara/daerah.
Secara fisik, keuangan negara mencakup uang, barang, dan utang/piutang yang menjadi wewenang dan tanggung jawab negara. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara menjadi wewenang dan tanggung jawab Presiden. Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.” Untuk lingkup pemerintahan daerah, kekuasaan tersebut diserahkan kepada kepala daerah masing-masing. Hal ini ditegaskan dalam ayat (2) huruf c pasal yang sama yang menyebutkan bahwa “Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.” Dengan demikian, gubernur/bupati/walikota telah mendapatkan penyerahan kekuasaan sepenuhnya dalam mengelola keuangan daerahnya masing-masing, mulai dari perencanaan/penganggaran sampai dengan pertangungjawaban. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh kementerian/lembaga karena menggunakan pilihan kata “dikuasakan”.
Ketentuan kekuasaan kepala daerah dalam mengelola keuangan daerah tidak hanya mencakup keuangan yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi juga mencakup kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kepala daerah mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, demikian ditegaskan dalam pasal di atas.
Ketentuan dalam undang-undang tersebut di atas selanjutnya ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 5 ayat (1) peraturan pemerintah ini menyatakan bahwa Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pernyataan yang sama juga terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan demikian, ketentuan penguasaan keuangan daerah oleh kepala daerah, baik dalam undang-undang maupun dalam peraturan perundangan di bawahnya tidak terdapat perbedaan.
Kekayaan daerah dibedakan menjadi kekayaan daerah yang dimiliki dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kekayaan daerah yang dimiliki dinamakan dengan Barang Milik Daerah (BMD), yakni semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Sedangkan kekayaan daerah yang pengelolaannya dipisahkan dari APBD disebut dengan kekayaan daerah yang dipisahkan. Adanya kekayaan daerah yang dipisahkan ini antara lain karena investasi pemerintah daerah pada badan usaha, baik perusahaan milik negara/daerah (BUMN/BUMD) maupun perusahaan milik swasta. Investasi daerah yang berupa kekayaan daerah yang dipisahkan tersebut diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan APBD. Hal ini disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 yang menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah. Selain itu, dalam kondisi APBD defisit, maka penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan salah satu alternatif pembiayaannya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 yang menyebutkan bahwa
“Penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya; b. pencairan dana cadangan; c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. penerimaan pinjaman; dan e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.”
Dengan memedomani ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka penjualan kekayaan daerah yang pisahkan guna menutup defisit APBD merupakan bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan APBD yang menjadi kewenangan kepala daerah. Penetapan RAPBD menjadi APBD dengan peraturan daerah mempersyaratkan adanya persetujuan DPRD. Persetujuan tersebut mencakup juga upaya-upaya untuk menutup defisit anggaran yang bakal terjadi, termasuk penutupan defisit anggaran yang berupa penerimaan pembiayaan melalui penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kewenangan kepala daerah untuk menjual kekayaan daerah yang dipisahkan untuk menutup defisit anggaran juga diperkuat dengan pasal/ayat yang menyebutkan bahwa kepala daerah mewakili daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan (termasuk penjualan saham pemerintah daerah di BUMD/BUMN/swasta) dalam rangka menutup defisit anggaran merupakan bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan anggaran daerah. Persetujuan DPRD terhadap penjualan kekayaan daerah untuk menutup defisit tersebut merupakan salah satu pokok bahasan sebelum rancangan anggaran daerah disetujui DPRD sehingga menjadi APBD. Apabila APBD mengalami defisit, DPRD berhak untuk menanyakan kepada pemerintah daerah mengenai upaya untuk menutup defisit tersebut. Apabila penutupan defisit anggaran dilakukan melalui penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, maka perlu didalami kekayaan daerah yang dipisahkan mana yang akan dijual. Pemerintah daerah perlu memiliki alasan/argument terhadap pemilihan kekayaan daerah tertentu yang akan digunakan untuk menutup defisit anggaran tersebut. Pada waktu pembahasan anggaran itulah terjadinya perdebatan antara eksekutif daerah dan legislatif daerah sehingga APBD dapat disepakati/disetujui bersama. Dengan demikian, perdebatan terhadap penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan untuk menutup defisit anggaran setelah disepakatinya APBD adalah hal yang terlambat, kecuali apabila dalam APBD tahun berkenaan tidak menyebutkan upaya penutupan defisit anggaran melalui penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Untuk kasus terakhir ini, maka pemerintah daerah harus membahasnya dalam pembahasan APBD Perubahan.
Kebijakan atau regulasi mengenai kekayaan negara/daerah yang dipisahkan diatur berbeda dengan barang milik negara/daerah. Untuk itu harus dipahami dengan betul perbedaan antara Barang Milik Daerah (BMD) dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Kepala daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD apabila hendak menjual (memindahtangankan) barang milik daerah (BMD) kepada pihak lain. Penjualan BMD tanpa persetujuan DPRD adalah tindakan melampaui kewenangan dan bertentangan dengan undang-undang sehingga transaksi penjualan tersebut tidak sah karena melanggar undang-undang. Sementara itu, persetujuan penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan (bukan BMD) menjadi satu kesatuan dengan persetujuan APBD yang di dalamnya menyebutkan penjualannya untuk menutup defisit anggaran sehingga tidak memerlukan persetujuan ulang dari DPRD. Untuk itu, DPRD harus kritis pada saat dimintai persetujuan terhadap RAPBD yang defisit anggarannya ditutup dengan penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pihak eksekutif daerah harus bisa memberikan penjelasan dan argumentasi sehingga DPRD yakin bahwa penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan tersebut merupakan alternatif terbaik dan tidak mengganggu pelayanan kepada rakyat.
Semoga tulisan ini bermanfaat, amin.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik