home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Sub Menu 1
Sub Menu 2
Sub Menu 3
Sub Menu 4
Sub Menu 5
SELAYANG PANDANG SEJARAH KEADILAN PAJAK DAN PENERAPANYA
Balai Diklat Keuangan Denpasar
Selasa, 7 Januari 2020 13:18 WIB
Oleh Gathot Subroto
Pada abad ke-17 negarawan Perancis Jean-Baptiste Colbert men-declare, ?Seni perpajakan adalah seni sebagaimana mencabuti bulu angsa dan berusaha mendapatkan bulu tersebut sebanyak-banyaknya dan berusaha atau meminimalkan kemungkinan angsanya melengking.? Satu abad kemudian, yaitu abad ke-18 seorang ahli Ekonomi Inggris, Adam Smith (1723?1790) memperbaiki pendapat tersebut dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (atau lebih dikenal dengan Wealth of Nations) mengemukakan ajaranya sebagai azas pemungutan pajak yang dinamai The Four Maxims . Pertama adalah Equality. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang atau sesuai dengan kemampuanya. Yang kedua, Certainty. Pajak yang dibayar seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Ketiga, Convenience of payment, bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. Dan yang keempat adalah Economy in collection. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Prof. Hofstra dalam mengemukakan pendapatnya mengenai The Four Maxims-nya Adam Smith, mengatakan bahwa dalam formulasi klasik dari teori tentang pajak itu terlihat adanya kepincangan dalam asas-asas tersebut, selain itu juga menyatakan bahwa cara perumusan maxim pertama dirasakan kurang tandas dan tuntas (exact). Misalnya, oleh Adam Smith diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting yaitu, apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukur equality tersebut? Tetapi pada kenyataanya rumusan Adam Smith tersebut tetap diikuti oleh para sarjana sampai dengan sekarang. Sampai pada sekitar tahun 1830 John Stuart Mill mnyempurnakan dengan formulasi yang lebih konkret, yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan pajak pendapatan. Pemikiran inilah yang kemudian terkenal dengan prinsip ability to pay atau kemampuan untuk membayar.[1]
Ahli pajak lainnya, E.R.A. Seligman menulis buku The Shifting and Incidence of Taxation (1892) dan The Income Tax (1911) merumuskan prinsip-prinsip pemungutan pajak, yang walaupun perumusannya berbeda dengan kaidah Adam Smith, akan tetapi apabila dikaji lebih mendalam ternyata antara keduanya terdapat berbagai persamaan. Ada empat prinsip pemungutan yang dikemukakan oleh Seligman antara lain fiscal, administrative, economic dan ethical. Yang perlu mendapat penekanan adalah prinsip keempat, yaitu prinsip ethical yang meliputi dua hal yakni uniformity dan universality. Yang dimaksud dengan uniformity (kesamaan;keseragaman) atau equality of taxation (persamaan dalam perpajakan), bukanlah salah satu keadilan yang mutlak seperti dalam perhitungan dengan angka, misalnya 6 dibagi 2 menjadi 3, melainkan suatu keadilan sebanding yang relatif (relatively proportional equality). Kata uniformity menggambarkan kesamaan, perlakuan yang sama terhadap para pembayar pajak. Pertanyaan yang timbul adalah apakah dasar pertimbangan yang dipakai sehingga pajak dirasakan sama dan adil di antara para pembayar pajak, atau dengan kata lain apa yang menjadi dasar pengenaan pajak sehingga setiap pembayar pajak diperlakukan sama.
Richard Musgrave dan istrinya Peggy Musgrave menyimpulkan bahwa sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuanya, sehingga setiap orang yang mempunyai pendapatan yang sama membayar jumlah pajak yang sama atau biasa disebut keadilan horisontal (horizontal equity) dan orang yang mempunyai pendapatan yang lebih membayar pajak lebih besar atau biasa disebut keadilan vertikal (vertical equity). Prinsip kemampuan untuk membayar menekankan pemajakan seharusnya didasarkan atas kemampuan seseorang untuk membayar, biasanya diukur dari pendapatan atau kesejahteraan. Satu implikasi dari prinsip ini adalah keadilan horisontal, yang menyatakan bahwa orang dalam posisi yang sama (equal position) seharusnya membayar pajak dalam jumlah yang sama. Jika dua orang mempunyai pendapatan yang sama misal $50,000, berdasar keadilan horisontal mengharuskan mereka membayar pajak dalam jumlah yang sama. Tetapi, bagaimana jika kedua orang yang mempunyai penghasilan $50,000 tersebut, salah satunya banyak tagihan untuk berobat dan membeli obat, sementara yang lainnya sehat? Apakah mereka pada posisi yang equal ? Jika tidak, mungkin beban pajak dari orang yang sakit tersebut seharusnya dikurangi. Tetapi berapa banyak jumlah pengurangannya? Dan bagaimana pembuktian bahwa orang pertama benar-benar membayar biaya pengobatan, bukan hanya sekadar untuk menurunkan beban pajaknya? Contoh ini menggambarkan dilema fundamental dalam mendesain sistem pajak. Fairness seringkali menjadi lawan dari simplicity.
Pendekatan kedua dari prinsip kemampuan untuk membayar adalah keadilan vertikal, suatu pendekatan bahwa suatu sistem pajak seharusnya mendistribusikan beban pajak secara adil (fair) terhadap orang-orang yang berbeda kemampuan untuk membayarnya. Ide ini mengimplikasikan bahwa person dengan pendapatan yang lebih besar seharusnya membayar pajak yang lebih besar pula dibandingkan dengan mereka yang pendapatannya lebih kecil. Tetapi lebih besarnya seberapa? Apakah rumah tangga dengan pendapatan yang berbeda dikenakan pajak dengan tarif yang sama atau tarif yang berbeda? Pajak dapat dikenakan secara proporsional, progresif atau regresif. Pajak proporsional mengenakan persentase yang sama dari pendapatan terhadap semua orang. Pajak progresif mengenakan persentase yang lebih tinggi dari pendapatan yang semakin besar ? orang kaya tidak hanya membayar pajak dalam jumlah yang lebih besar dari pada orang miskin, tetapi dengan bagian yang lebih besar (larger fraction) dari pendapatannya. Pajak regresif mengenakan peresentase yang lebih rendah dari pendapatan sebagai akibat kenaikan pendapatan ? sehingga orang miskin membayar pajak dengan bagian yang lebih besar dari pendapatannya dibandingkan si kaya .
Masalah selanjutnya adalah : mana yang paling fair -- proporsional, progresif atau regresif? Sampai sekarang belum ada cara ilmiah untuk mencari solusi atas pertanyaan tersebut. Jawabannya tergantung pada pertimbangan etis dan filosofis (ethical and philosopical judgments), seperti apakah suatu society mempunyai hak untuk mengambil bagian pendapatan dari satu kelompok orang dan memberikannya kepada yang lain. Sistem progresif, proporsional bahkan regresif, semuanya dapat diterapkan pada syarat keadilan vertikal dimana seorang yang lebih kaya harus membayar lebih besar dibandingkan orang yang lebih miskin. Sebagian besar negara industri menerapkan sistem progresif dalam menghitung pajak penghasilan, dimana mengenakan beban pajak yang lebih besar pada setiap penambahan pendapatan. Di Amerika Serikat, sistem pajak penghasilan perseorangan membagi penghasilan kena pajak ke dalam tax brackets yang berbeda.
Prinsip-prinsip tersebut di atas yang dirangkum menjadi prinsip keadilan pajak, ternyata pada praktiknya hanya dapat diterapkan dengan baik (dalam tataran teori) pada pajak penghasilan atau apabila pajak dikenakan dengan basis pendapatan (income base). Pada pajak dengan basis pendapatan, penerapan prinsip ability to pay misalnya dapat diterapkan dengan menggunakan tarif progresif yang dikenakan atas penghasilannya (ketika penghasilan diperoleh). Pada pajak jenis ini maka penerapan keadilan pajak baik vertikal maupun horisontal dapat diterapkan secara sistematis dengan baik. Mereka yang mempunyai penghasilan yang sama, dari sumber yang sama, dengan kondisi subjek pajak yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama dengan jumlah yang sama. Mereka yang mempunyai penghasilan lebih besar akan membayar pajak yang lebih besar pula, bahkan dengan tarif progresif dapat dikenakan pajak yang secara proporsional lebih besar pula.
Menurut Musgrave, masalah penting yang selalu timbul dari sistem perpajakan adalah keadilan distribusi beban pajak pada berbagai golongan pendapatan dalam masyarakat. Pada umumnya keadilan dalam sistem pajak selalu didasarkan pada tolok ukur kemampuan seseorang untuk membayar pajak, atau dengan kata lain didasarkan pada tingkat pendapatan atau pengeluarannya. Sistem pajak yang ada harus dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin besar proporsi beban pajak yang harus ditanggungnya. Penerapan keadilan pajak sebagaimana dimaksud di atas, pada pajak dengan basis konsumsi ternyata banyak menemui kesulitan untuk bisa diwujudkan.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik