home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Sub Menu 1
Sub Menu 2
Sub Menu 3
Sub Menu 4
Sub Menu 5
Perkembangan Pengadaan Asuransi Untuk Barang Milik Negara
Balai Diklat Keuangan Denpasar
Rabu, 18 Desember 2019 15:34 WIB
"Dengan adanya penandatanganan kontrak payung ini,
maka implementasi asuransi BMN telah dimulai."
Demikian kalimat sambutan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Isa Rachmatarwata, pada acara penandatanganan kontrak payung dalam rangka penyediaan jasa asuransi Barang Milik Negara (BMN). Acara tersebut dilaksanakan pada tanggal 29 November 2019 yang lalu di Kantor Pusat Kementerian Keuangan dengan ditandai penyerahan polis asuransi BMN dari Konsorsium Asuransi BMN kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan. Konsorsium Asuransi BMN adalah wadah kerjasama yang beranggotakan 56 perusahaan terdiri atas 50 perusahaan asuransi umum dan 6 perusahaan reasuransi. Sedangkan, jumlah BMN yang diasuransikan adalah sebanyak 1.360 bangunan gedung milik Kementerian Keuangan yang bernilai sebesar 10,84 triliun Rupiah dengan tarif premi 1,965 permil atau sebesar 21,3 miliar Rupiah yang dibayarkan. Langkah ini merupakan awal dari pelaksanaan piloting Asuransi BMN sesuai dengan PMK Nomor 97/PMK.06/2019 dan KMK Nomor 253/KM.6/2019. Dengan penandatanganan kontrak payung dan sekaligus penyerahan polis asuransi BMN tersebut, maka implementasi asuransi atas BMN di Indonesia sudah dimulai sebagai salah satu upaya pengamanan aset negara.
Jika kita melihat ke beberapa tahun belakangan, asuransi BMN sudah mulai diatur sejak tahun 2014 yaitu pada pasal 45 PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yaitu Pengelola Barang dapat menetapkan kebijakan asuransi atau pertanggungan dalam rangka pengamanan Barang Milik Negara tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Dalam pasal tersebut terdapat frasa "...dapat menetapkan kebijakan asuransi atau pertanggungan dalam rangka pengamanan Barang Milik Negara...", yang berarti Pengelola Barang diberikan keleluasaan untuk menetapkan atau tidak menetapkan pelaksanaan asuransi BMN. Selain itu, juga terdapat frasa "... dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara...", yang berarti Pengelola Barang harus benar-benar cermat dalam menentukan fokus BMN apa yang mendesak untuk diasuransikan agar tidak terlalu membebani keuangan negara. Untuk itu, dalam tulisan ini, kita akan mengulas secara singkat perkembangan regulasi asuransi BMN dengan juga melihat profil kebencanaan di Indonesia dewasa ini dan bagaimana Pengelola Barang mengatur pola penerapan asuransi BMN itu sendiri.
Melihat dari negara-negara lain
Penyediaan asuransi untuk BMN saat ini bukan lagi menjadi pilihan bagi Pemerintah tapi lebih merupakan kewajiban untuk segera dilaksanakan. Pengasuransian BMN harus dilakukan bukan hanya untuk memberikan pengamanan atas BMN dan memastikan keberlangsungan pemberian layanan umum, tetapi juga untuk menjamin kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Untuk itu, pelaksanaan pengasuransian BMN harus dijalankan dengan prinsip selektif, efisiensi, efektivitas, dan prioritas.
Jika kita berkaca ke negara lain seperti Jepang misalnya, negara ini sudah merancang sistem asuransi bencana sejak tahun 1964. Jepang belajar dari peristiwa gempa di Prefektur Niigata pada tanggal 16 Juni 1964 dengan magnitudo 7,5 pada skala Richter yang juga diikuti dengan peristiwa likuifaksi. Saat itu kerugian yang diderita Jepang cukup masif dan besar. Sehingga, Menteri Keuangan Jepang saat itu mengajak seluruh asosiasi perusahaan asuransi di negaranya untuk menyusun skema kontribusi untuk mengatasi resiko kerugian yang disebabkan oleh keadaan kahar (force majeure) yang sudah terjadi (Sunarsip, dkk, 2007). Resiko tersebut juga disadari oleh Pemerintah Australia dengan mulai mendirikan organisasi untuk mengelola dana asuransi pada tahun 1998 dengan nama Comcover. Konsepnya sedikit berbeda dengan negara-negara lain, dimana Comcover mengelola dana secara mandiri. Sebelumnya, Pemerintah Australia belum memiliki skema asuransi yang jelas untuk manajemen resiko dalam pengamanan asetnya. Metode yang digunakan Comcover dapat membantu Pemerintah Australia untuk mengintegrasikan manajemen resiko dalam tugas dan fungsi pemerintah dengan menyediakan manajemen resiko yang responsif dan komprehensif (Australian Government, 2015).
Kemudian, juga terdapat praktik-praktik asuransi untuk aset di beberapa negara seperti dirangkum The Indonesia Economic Intelligence pada tahun 2012 (Sudiarto, 2017). Contohnya, Turki yang mewajibkan asuransi pada rumah, ruko, dan apartemen pada The Turkish Catastrophic Pool. Selanjutnya, Kanada yang menetapkan dua jenis kerugian akibat bencana yang dapat ditanggung oleh asuransi, yaitu kebakaran dan tornado. Untuk besaran kerugian yang dibayar tergantung pada tipe dan lokasi rumah yang ditanggung. Bahkan, Kanada menerapkan sebuah special coverage insurance untuk tambahan pertanggungan pada asuransi umum untuk bencana kebakaran. Hal ini juga dilakukan oleh Pemerintah Jerman yang fokus pada bencana banjir, yaitu dengan menetapkan UU Perlindungan Terhadap Bencana Banjir pada tahun 2004 setelah melihat besarnya kerugian akibat bencana tersebut. Selain itu, terdapat pendekatan yang unik yang dilakukan Pemerintah Bangladesh dalam hal asuransi kebencanaan. Yaitu, pola manajemen resiko dengan tidak menggunakan perusahaan asuransi tetapi memanfaatkan lembaga keuangan mikro yang sedang tumbuh pesat di negara tersebut. Dari kenyataan di atas, tergambar dengan jelas bahwa asuransi atas aset merupakan suatu keharusan untuk dirumuskan dan dilaksanakan oleh pemerintahan suatu negara.
Profil Kebencanaan di Indonesia
Berdasarkan rilis data kejadian bencana alam dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mulai 1 Januari hingga 25 November 2019 telah terjadi 3.326 kali kejadian bencana. Bencana alam itu terdiri atas 1.081 kali puting beliung, 720 kebakaran hutan dan lahan, 690 kali banjir, 662 kali tanah longsor, 121 kali kekeringan, 28 kali gempa bumi, 17 kali gelombang pasang/abrasi dan 7 kali letusan gunung api. Dari kejadian bencana alam tersebut, jumlah korban sebanyak 461 orang meninggal, 107 orang hilang, 3.336 orang luka-luka dan 5.958.208 orang terpaksa mengungsi. Bencana juga mengakibatkan kerusakan rumah sebanyak 67.279 unit terdiri atas 14.979 unit rusak berat, 13.686 unit rusak sedang, dan 38.614 rusak ringan. Selain itu, bencana alam juga mengakibatkan kerusakan fasilitas sebanyak 1.925 unit, yang terdiri atas 1.074 unit fasilitas pendidikan, 644 unit fasilitas peribadatan, dan 207 unit fasilitas kesehatan. Sedangkan, kerusakan kantor akibat bencana sebanyak 257 unit dan jembatan sebanyak 409 unit. Jumlah kejadian bencana alam sampai dengan bulan November 2019 ini tercatat yang paling banyak sejak tahun 2003 jika kita bandingkan dengan grafik berikut ini.
Sumber: bnpb.go.id
Kondisi geografis dan posisi geologis seperti kita ketahui bersama rentan terhadap letusan gunung berapi, gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami. Dari segi cuaca dan curah hujan, negara kita juga rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, bencana banjir, tanah longsor, serta berbagai wabah penyakit yang biasanya menyertai bencana-bencana tersebut. Selain itu, faktor demografis yang meliputi keberagaman suku, agama, dan budaya juga menjadi aspek tersendiri yang juga dapat menjadi potensi bencana (Nazarudin, 2015). Apalagi hal itu diperburuk dengan kesenjangan ekonomi dan kurangnya kedewasaan berpolitik di masyarakat. Jika faktor tersebut tidak dikelola dengan baik, maka dapat berujung pada bencana sosial, misalnya terjadi gelombang unjuk rasa yang merusak aset negara seperti diberitakan katadata.co.id tanggal 5 Oktober 2019. Untuk itu, manajemen resiko yang responsif dan komprehensif khususnya berupa asuransi BMN mutlak diperlukan dengan memperhatikan seluruh faktor tersebut.
Perkembangan Regulasi Asuransi BMN
Penyediaan asuransi untuk BMN yang diamanatkan dalam PP Nomor 27 tahun 2014 telah diikuti dengan beberapa peraturan pelaksanaan dibawahnya. Mulai dari PMK Nomor 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian BMN, saat ini telah diganti dengan PMK Nomor 97/PMK.06/2019. Penyempurnaan kebijakan tersebut telah dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak baik di industri asuransi maupun regulator lembaga keuangan (Humas DJKN, 2018), seperti:
1. Asosiasi Industri Asuransi;
2. Peneliti di bidang kebencanaan;
3. Perusahaan dalam industri asuransi; dan
4. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan institusi terkait lainnya.
DJKN selaku Pengelola BMN mengembangkan kebijakan produk asuransi dengan menggunakan satu tarif. Tarif tersebut ditentukan untuk mencakup semua jenis bencana. Resiko bencana yang dimaksud, seperti banjir, banjir bandang, cuaca ekstrem, gelombang dan abrasi ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, letusan gunung berapi, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. Selain itu, juga diatur bahwa asuransi BMN juga harus mengakomodir seluruh wilayah Indonesia, meskipun setiap daerah mempunyai potensi bencana yang berbeda-beda. Untuk itu, sebagai tahap awal, DJKN bersinergi dengan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan untuk melaksanakan piloting penerapan pengasuransian BMN. Kebijakan tersebut dilandasi dengan dasar hukum KMK Nomor 253/KM.6/2019 tentang Tahapan Pelaksanaan Pengasuransian Barang Milik Negara Pada Kementerian/Lembaga Tahun 2019.
Penutup
Penyediaan asuransi BMN yang sudah dicanangkan dengan tujuan mengamankan aset negara harus tetap mempertimbangkan kondisi kemampuan keuangan negara. Hal ini disiasati dengan terlebih dahulu melaksanakan piloting penerapannya untuk internal Kementerian Keuangan di tahun 2019 ini. Piloting dilakukan agar Pengelola Barang dapat menilai sejauh mana prinsip selektif, efisien, efektif, dan prioritas dalam pengasuransian BMN dapat terwujud. Penerapan pengasuransian BMN yang melibatkan industri asuransi di dalam negeri diasumsikan dapat merangsang pasar asuransi dengan lebih baik, mengingat asuransi resiko bencana belum terlalu berkembang. Senada dengan penelitian Cagle (2003), bahwa kebutuhan untuk memelihara aset dan keterbatasan anggaran merupakan tantangan bagi pemerintah yang hanya dapat dijawab dengan penerapan manajemen aset yang komprehensif. Untuk itu, dalam memenuhi amanat pengasuransian BMN sesuai dengan PP Nomor 27/2014, Pengelola Barang harus dapat bersinergi secara berkelanjutan dengan semua pihak yang terkait baik dari kalangan pemerintah maupun industri.
Produk asuransi yang optimal dan penentuan perusahaan asuransi yang kompeten harus dirumuskan dengan profesional karena menyangkut pembiayaannya pada keuangan negara. Selain itu, penyediaan SDM yang handal dari sisi pemerintah dan industri asuransi harus tetap diperhatikan peningkatan kompetensinya. Selanjutnya, penyiapan wadah Community of Practice dan Board of Experts bagi pihak-pihak yang terlibat juga dapat dibentuk sebagai tempat bertukar pendapat untuk penyempurnaan kebijakan asuransi BMN kedepan.
Referensi
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor Nomor 253/KM.6/2019 tentang Tahapan Pelaksanaan Pengasuransian Barang Milik Negara Pada Kementerian/Lembaga Tahun 2019
Cagle, Ron F. (2003). Addressing Infrastructure Decline Through Proactive Asset Management. University of Georgia: Proceedings of the 2003 Georgia Water Resources Conference.
Humas DJKN. (2018). Dirjen Kekayaan Negara: Asuransi BMN, Langkah Baru Mengelola Kekayaan Negara. 1 Februari 2018. Diakses 4 Desember 2019, 11.00 WITA. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/14443/Dirjen-Kekayaan-Negara-Asuransi-BMN-Langkah-Baru-Mengelola-Kekayaan-Negara.html
Nazaruddin, Muzayyin (2015). Jurnalisme bencana di Indonesia, setelah sepuluh tahun. Jurnal Komunikasi. Vol.10 (1). ISSN 1907-898X. Oktober 2015.
Perwitasari, Nur Hidayah (2019). BNPB: 461 Tewas Akibat Bencana Sejak Awal Tahun hingga Akhir 2019. 28 November 2019. Diakses 4 Desember 2019, 14.00 WITA. https://tirto.id/bnpb-461-tewas-akibat-bencana-sejak-awal-tahun-hingga-akhir-2019-ems1
Pusat Data Informasi dan Humas. (2019). Tren Bencana Indonesia Tahun 2003 - 2017. 23 Januari 2019. Diakses 4 Desember 2019, 10.00 WITA. https://bnpb.go.id/publikasi/infografis/trend-bencana-2013-2017.html
Sudiarto, Tatok Djoko. (2017). Asuransi Kebencanaan dalam Perekonomian Nasional dan Daerah. Jurnal Universitas Paramadina 13, 1497-1516.
Sunarsip, dkk. (2007). Menggagas Keterlibatan Asuransi dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta: The Indonesia Economic Intelligence.
Victoria, Agatha Olivia. (2019). Kemenkeu Menyesal Terlambat Asuransikan Aset Negara. 5 Oktober 2019. Diakses 4 Desember 2019, 09.00 WITA. https://katadata.co.id/berita/2019/10/05/ kemenkeu-menyesal-terlambat-asuransikan-aset-negara
_________. (2019). Kemenkeu Laksanakan Piloting Asuransi Barang Milik Negara. 29 November 2019. Diakses 4 Desember 2019, 08.00 WITA. http://www.romadan.kemenkeu.go.id/News/ Details/231
_________. (2015). An Introduction to Comcover. Australian Government: Fact Sheet Series.
Penulis : Koko Inarto
Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Denpasar
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan representasi instansi tempat penulis bekerja.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik