home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Sub Menu 1
Sub Menu 2
Sub Menu 3
Sub Menu 4
Sub Menu 5
Penerapan Konsep Coworking Space Untuk Gedung Kantor Pemerintah
Balai Diklat Keuangan Denpasar
Senin, 23 Desember 2019 06:39 WIB
"Di tengah tekonologi digital, semakin banyak tempat kerja yang gunakan konsep co-sharing dan open space, sehingga kebutuhan space berkerja akan berubah. Ini menentukan gimana BMN-BMN kita digunakan secara baik."
Demikian kalimat yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Rapat Kerja Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah pada tanggal 12 September 2019 yang lalu. Beliau menjelakan bahwa pihaknya menginginkan optimalisasi penggunaan Barang Milik Negara (BMN) khususnya yang berupa gedung-gedung kantor pemerintahan. Yaitu, dengan menjadi gedung-gedung tersebut menjadi berkonsep ruang kerja terbuka atau coworking space. Dengan konsep ini, diasumsikan akan membuat hubungan antar pegawai menjadi lebih dekat sehingga kolaborasi di antara mereka makin meningkat (Bernstein, et.al, 2018). Dari sisi pembiayaan pengadaan gedung, yang menjadi kelebihan adalah efisiensi ruangan. Artinya, investasi pembangunan yang lebih rendah dibandingkan jika membangun kubikal atau ruang-ruang tertentu untuk tempat kerja pegawai.
Jika kita berbicara tentang perencanaan pengadaan gedung kantor untuk satuan kerja pemerintah pusat, Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang telah beberapa kali menetapkan standarnya. Standar itu disebut dengan Standar Barang dan Standar Kebutuhan yang biasanya disingkat SBSK. SBSK yang berlaku saat ini adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.06/2016. PMK ini merupakan perubahan dari PMK sebelumnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas bagaimana konsep co-working space dan standar yang diatur dalam SBSK serta bagaimana kemungkinan penerapan co-working space seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan.
Pengertian Konsep Coworking space
Menurut Gandini (2015), coworking space adalah suatu tempat kerja bersama yang dimanfaatkan oleh berbagai macam jenis profesi, dalam hal ini sebagian besar adalah pekerja lepas, yang bekerja pada bidang usaha tertentu dan berbeda-beda. Secara umum, awalnya konsep ini dipahami sebagai fasilitas penyewaan kantor dimana para profesional tersebut menyewa ruang kerja yang terkoneksi internet. Padahal, konsep ini lebih kepada pemberian kebebasan bekerja bagi profesional dalam menjalankan rutinitas sehari-harinya. Menjamurnya coworking space tidak dipungkiri memiliki dampak positif bagi para profesional yang menggunakannya. Dampak tersebut mempengaruhi cara mereka bekerja, menumbuhkan jaringan profesional yang lebih luas, dan akhirnya meningkatkan produktivitas mereka secara signifikan.
Berdasarkan penelitian Retail Research Point of View (2018), saat ini secara ritel terdapat 4 jenis coworking space, yaitu Retail Launchpads, Telework Hubs, Business Boosters, dan Creative Coalitions. Retail Launchpads sangat unik karena khusus menargetkan startup ritel. Pada jenis ini, para penggunanya dapat memperoleh media inkubasi ritel dan ruang demo untuk produk rintisan mereka dan dapat memperoleh akses ke calon pelanggan. Jenis ini sangat cocok untuk para wirausahawan atau freelancer baru. Kemudian, Telework Hubs, yaitu jenis yang paling mudah ditemi dalam penelitian tersebut karenanya jumlahnya sampai 78% dari sampel. Jenis ini paling banyak penggunanya mulai dari pekerja kantoran, pengusahaan, sampai pelaku industri kreatif. Persebarannya juga yang paling luas dan penggunanya juga berasal dari semua tingkatan penghasilan karena lokasinya biasanya berada di daerah yang tingkat komuternya tinggi. Selanjutnya, Business Boosters, yang sesuai dengan namanya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas khususnya bagi pengusahan dan pekerja lepas. Karena, dalam coworking space ini menyediakan media untuk pengembangan bisnis mulai dari modal, konsultasi, dukungan kreatif, peralatan kelas bisnis, bahkan mentor. Terakhir, adalah Creative Coalitions, yaitu jenis yang menyediakan komunitas dan ruang kerja untuk seniman dan umumnya pelaku industri kreatif, karena di dalamnya menyediakan peralatan khusus seperti printer 3D, peralatan las, kamar gelap, dan lain-lain. Dari berbagai jenis coworking space tersebut, memang sudah saatnya unsur birokrasi untuk menyesuaikan diri dengan tren yang sedang mendunia ini. Saat ini, pekerjaan birokrat sangat menuntut pelayanan bersifat digital friendly dan fleksibel. Selain itu, keterbatasan ruang kantor dan banyaknya pegawai yang menjadi komuter, menuntut para pembuat kebijakan untuk mulai mengarah ke konsep coworking space ini dengan mengoptimalkan gedung yang sudah ada.
Memahami Standar Barang Sesuai PMK Nomor 7/PMK.06/2016
SBSK untuk pengadaan Gedung Kantor mengacu pada PMK Nomor 7/PMK.06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Berupa Tanah dan/atau Bangunan. Pengaturan SBSK tersebut mencakup Standar Barang untuk Gedung Kantor yang merupakan spesifikasi barang yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan untuk pengadaan tanah dan/atau bangunan gedung kantor yang terdiri atas:
1. Klasifikasi bangunan gedung kantor berdasarkan penggunanya terdiri atas:
a. Tipe A, yaitu gedung perkantoran yang ditempati secara permanen oleh lembaga tinggi Negara seperti gedung MPR/DPR.
b. Tipe B, yaitu gedung perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Kantor Kementerian Koordinator, Kementerian Negara, Pejabat setingkat Menteri, dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian dengan wilayah kerja nasional.
c. Tipe C, yaitu gedung perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Instansi Pemerintah Pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon I, seperti misalnya Gedung Kantor setingkat Direktorat Jenderal atau Gedung Kantor Badan di bawah Kementerian/Lembaga.
d. Tipe D, yaitu gedung perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Instansi Pemerintah Pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon II, seperti misalnya Gedung Kantor Direktorat, Gedung Kantor Perwakilan, Gedung Kantor Wilayah, atau Gedung Kantor Balai Besar.
e. Tipe E1, yaitu gedung perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Instansi Vertikal Pemerintah Pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon Ill, seperti misalnya Gedung Kantor Pelayanan, Gedung Kantor Daerah, atau Gedung Kantor Balai.
f. Tipe E2, yaitu gedung perkantoran yang ditempati secara permanen oleh Instansi Vertikal Pemerintah Pusat dengan pejabat tertinggi setingkat Eselon IV, seperti misalnya Gedung Kantor Urusan Agama atau Gedung Kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT).
2. Standar Luas Bangunan Gedung Perkantoran
Bangunan Gedung Perkantoran terdiri atas ruang kerja, ruang penunjang, dan bangunan yang tidak dapat diutilisasi. Luas bangunan yang dijadikan standar untuk keperluan perencanaan kebutuhan adalah luas bangunan bruto. Luas bangunan bruto merupakan luas keseluruhan ruangan dalam gedung, termasuk bagian yang tidak dapat diutilisasi.
Perhitungan luas Bangunan Gedung Kantor memerlukan input data pegawai yang akan menempati Bangunan Gedung Kantor yang diusulkan kebutuhan pengadaannya. Data kepegawaian dimaksud berturut-turut merupakan komposisi/struktur dan jumlah pegawai ideal berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku. Jika komposisi dan jumlah pegawai ditetapkan berbeda dengan perundang-undangan, maka digunakan komposisi dan jumlah pegawai yang lebih besar. Komposisi/struktur dan jumlah pegawai akan menentukan standar luas bangunan maksimum yang dapat dipertimbangkan. Luas bangunan sesuai standar telah mencakup ruang penunjang yang terdiri atas ruang rapat utama, ruang pertemuan/aula, ruang arsip, ruang fungsional, toilet, ruang server, lobby/fasilitas lain, dan ruang pelayanan.
3. Standar Luas Ruang Kerja
Standar luas ruang kerja merupakan acuan untuk menentukan jumlah luas keseluruhan ruangan yang akan menjadi luas neto bangunan. Standar luas ruang kerja ditetapkan bahwa Ruang untuk Pejabat Tinggi dan yang setingkat diatur lebih lanjut oleh Pengelola Barang dengan memperhatikan tugas dan fungsi pejabat tinggi bersangkutan. Sedangkan Standar Luas Ruang Kerja untuk selain Pejabat Tinggi dan yang setingkat diatur dengan PMK tentang SBSK. Yang menarik adalah adanya perubahan signifikan dalam 2 PMK yang mengatur tentang SBSK dan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Dari standar di atas, terlihat bahwa pada PMK yang terakhir, luasan ruang kerja untuk unsur pembuat kebijakan khususnya untuk jabatan tinggi (Menteri, Wamen, dan Eselon IA) diatur jauh lebih kecil dari PMK sebelumnya. Sedangkan, untuk jabatan Eselon IV, fungsional, dan pelaksana, rata-rata diatur lebih tinggi. Ini mencerminkan bahwa di tingkat operasional lebih diasumsikan membutuhkan ruang yang lebih luas. Hal ini dimaklumi mengingat pelayanan kepada stakeholders dan pengarsipan misalnya, lebih banyak dikerjakan oleh pegawai pada tingkatan tersebut. Menurut penulis, dengan penetapan standar sesuai PMK Nomor 7/PMK.06/2016 tersebut, terlihat bahwa Pemerintah mulai lebih concern pada fungsi pelayanan pada suatu satuan kerja daripada fokus pada fasilitas untuk para pejabatnya.
4. Standar Luas Ruang Penunjang
Ruang penunjang terdiri atas ruang arsip, ruang fungsional, toilet, ruang server, lobby/fasilitas lain, dan ruang pelayanan. Ruang fungsional merupakan ruang yang dapat digunakan sesuai kebutuhan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, seperti misalnya ruang operator komputer, studio, musholla, gudang, dan ruang laktasi. Luas ruang penunjang selain ruang pelayanan didasarkan pada jumlah/komposisi dari jumlah pegawai ideal pada instansi yang bersangkutan. Sedangkan, ruang pelayanan didasarkan pada target layanan (pengunjung) per hari.
5. Standar ketinggian bangunan
Standar ketinggian Bangunan Gedung Kantor adalah berdasarkan struktur pejabat tertinggi yang direncanakan akan menempati secara permanen bangunan yang bersangkutan. Ketinggian bangunan ditetapkan bahwa untuk Tipe A dan Tipe B paling tinggi 20 lantai, Tipe C dan Tipe D paling tinggi 8 lantai, Tipe E1 paling tinggi.4 lantai, dan Tipe E2 paling tinggi 2 lantai. Bangunan gedung perkantoran dapat direncanakan lebih dari ketinggian tersebut jika diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga terkait dengan menyertakan alasan teknis dan ekonomis pembangunan dan harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Perencanaan teknis bangunan gedung perkantoran yang direncanakan dibangun lebih dari 8 lantai harus mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pekerjaan umum atas usul Menteri/Pimpinan Lembaga. Jika peraturan daerah tempat bangunan gedung perkantoran berdiri menetapkan ketinggian maksimum bangunan lebih rendah dari ketinggian maksimum bangunan yang akan dibangun, maka ketinggian maksimum bangunan bersangkutan agar disesuaikan dengan ketentuan dalam peraturan daerah tersebut.
Memahami Standar kebutuhan Unit Bangunan Untuk Gedung Kantor
Standar kebutuhan unit bangunan gedung kantor adalah jumlah maksimum bangunan gedung kantor yang dapat dimiliki oleh sebuah satuan kerja. Standar ini dibatasi sebagai untuk kantor direktorat (Bangunan Tipe D), yaitu kantor instansi pusat dengan pejabat tertinggi yang menempati secara permanen adalah eselon II dapat memiliki gedung tersendiri apabila luas lantai bruto lebih dari 1.000m2. Sedangkan, kantor instansi vertikal dengan struktur pejabat tertinggi yang menempati secara permanen adalah eselon III atau eselon IV (Bangunan Tipe E1 dan E2) adalah satu bangunan untuk setiap unit. Kebutuhan unit selebihnya (Bangunan Tipe A-D) adalah berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas penggunaan lahan yang sudah dimiliki oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Ilustrasi Perhitungan Ruang Kerja
Ilustrasi Coworking space
(Sumber: executive.mit.edu)
Selanjutnya, kita akan membahas bagaimana perbandingan antara standar luasan ruang yang ada di SBSK dengan apabila kita mempraktikkan konsep coworking space pada suatu kantor. Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa praktik coworking space oleh MIT Sloan School of Management tidak memerlukan kubikal-kubikal atau space khusus untuk setiap pegawai. Sebagai ilustrasi, kita asumsikan terdapat sebuah kantor unit eselon III dengan 1 orang kepala kantor, 7 orang pejabat eselon IV, dan 35 orang pelaksana. Untuk kubikal hanya untuk kepala kantor, diasumsikan hanya seluas 5 m2 sedangkan untuk pejabat eselon IV dan pelaksana cukup 3 m2 sesuai perkiraan dari gambar di atas.
Simulasi Perbandingan Perhitungan Luasan Ruang Kerja
Perhitungan di atas diasumsikan untuk ruang penunjang tetap menggunakan standar sesuai dengan SBSK. Dari perbandingan di atas, terlihat kebutuhan ruang kerja dengan konsep coworking space jauh lebih kecil bahkan dibawah 50% dibandingkan jika menggunakan perhitungan SBSK. Apabila perhitungan tersebut kita terapkan pada kantor-kantor satuan kerja pemerintah pusat yang sudah ada, maka dimungkinkan peluang yang sangat terbuka untuk merombak setidak-tidaknya layout kantor-kantor tersebut. Selain itu, potensi penghematan ruang kerja juga akan membuka peluang pemanfaatan coworking space yang terbentuk. Peluang pemanfaatan tersebut apabila dapat diwujudkan seperti 4 jenis tersebut diatas tentunya akan dapat meningkatkan PNBP yang berasal dari pemanfaatan BMN.
Coworking space untuk kantor pemerintah sudah dilakukan oleh beberapa negara. Misalnya, di Australia, Pemerintah Negara Bagian Queensland sudah menerapkannya dan terbukti dapat meningkatkan produktivitas dan memperbaiki work-life balance para pegawainya (Houghton et.al, 2017). Perbaikan keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi tersebut dapat terjadi karena ada fleksibilitas juga dalam memilih lokasi kerja sehingga mengurangi frekuensi komuter para pegawai. Kemudian, di Canada, Pemerintahnya mulai tahun 2019 ini juga mulai menerapkan konsep coworking space untuk kantor-kantornya. Mereka menyebutnya modernisasi kantor sehingga membuatnya fleksibel, mudah diakses, kolaboratif, dan berkelanjutan untuk mendukung pekerjaan para pegawainya (Hossack, 2019). Dari kedua contoh tersebut, komitmen dari pimpinan dan para pegawai tampaknya menjadi kunci sukses untuk penerapan konsep coworking space di kantor pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena setiap perubahan dalam birokrasi harus juga didukung dengan komitmen dan perbaikan budaya kerja pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Penutup
Saat ini memang kita tidak dapat lagi menutup mata dari tren dunia berupa konsep coworking space untuk semua jenis perkantoran, tak terkecuali untuk kantor pemerintah. Konsep ini muncul karena perkembangan teknologi yang sangat masif sehingga membuat pekerjaan dapat dilakukan secara remote dan pengarsipan dapat dilakukan secara cloud. Lebih jauh, tuntutan birokrasi digital yang mudah diakses, fleksibel, kolaboratif, dan dinamis harus dapat diwujudkan oleh pemerintah, apalagi untuk satuan kerja pemerintah pusat. Untuk itu, konsep coworking space harus dapat paling tidak diujicobakan di kantor-kantor satuan kerja kita. Konsep ini umumnya disukai oleh para pegawai karena sifatnya yang lebih kolaboratif dan, dalam beberapa contoh di luar negeri, para pegawainya tidak harus datang ke kantor untuk bekerja.
Namun demikian, konsep ini harus diterapkan secara bertahap dan direncanakan secara komprehensif terlebih dahulu untuk melihat apakah SDM dan anggarannya siap untuk mengikuti perkembangan konsep itu sendiri. Perubahan dapat dimulai dari perombakan lay out kantor yang dijadikan percontohan yang diikuti dengan perubahan standar kerja dan evaluasi kinerjanya. Dari sisi aset, apabila konsep ini dapat dijalankan, dapat menjanjikan penghematan ruang kerja yang cukup besar sehingga dapat memberikan peluang pemanfaatan aset untuk menghasilkan PNBP. Untuk itu, komitmen dari seluruh pemangku kepentingan terutama para pembuat kebijakan dan pegawai untuk menyesuaikan budaya kerja sesuai konsep coworking space adalah yang paling penting. Hal ini menjadi yang utama karena mereka harus tetap tujuan organisasi tetap tercapai dan jangan sampai penerapan konsep ini membuahkan peluang fraud yang baru. Akhirnya, birokrasi yang berintegritas dan mampu menjaga kepercayaan publik tetap menjadi pertimbangan serius dalam rangka penerapan konsep coworking space tersebut.
Referensi
PMK Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang Dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara Berupa Tanah Dan/Atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.06/2016.
Bernstein, Ethan & Turban, Stephen. (2018). The impact of the ?open? workspace on human collaboration. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 373. 20170239. 10.1098/rstb.2017.0239.
Cook, James D., Virtue, Keisha McDonnough, & Homa, Scott. (2018). Can coworking work at the mall? A first-ever study of coworking in retail properties. Retail Research Point of View.
Gandini, Alessandro. (2015). The rise of coworking spaces: A literature review. Ephemera Journal Vol.15 No.1, pp.193-205.
Habibah, Astrid Faidlatul. (2019). Menkeu ingin ubah gedung pemerintahan jadi co-working space. 12 September 2019. Diakses 10 Desember 2019, 08.00 WITA. https://www.antaranews.com/berita/1058434/menkeu-ingin-ubah-gedung-pemerintahan-jadi-co-working-space
Hirst, Peter. (2018). No office, no desk, no problem: How our team makes flexible, shared workspace actually work. MIT Sloan Executive Education innovation@work Blog. Diakses 10 Desember 2019, 10.00 WITA. https://executive.mit.edu/blog/no-office-no-desk-no-problem
Houghton, Kirralie & Foth, Marcus & Hearn, Greg. (2017). Working from the Other Office: Trialling Co‐Working Spaces for Public Servants. Australian Journal of Public Administration. 77. 10.1111/1467-8500.12317.
Hossack, Marielle. (2019). GCcoworking: New flexible alternative workplaces for Government of Canada employees. 3 Juni 2019. Public Services and Procurement Canada. Diakses 10 Desember 2019, 09.00 WITA. https://www.canada.ca/en/public-services-procurement/news/2019/06/gccoworking-new-flexible-alternative-workplaces-for-government-of-canada-employees0.html
Penulis : Koko Inarto
Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Denpasar
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan representasi instansi tempat penulis bekerja.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik