home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Sub Menu 1
Sub Menu 2
Sub Menu 3
Sub Menu 4
Sub Menu 5
FASILITAS PADA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Balai Diklat Keuangan Denpasar
Selasa, 7 Januari 2020 13:07 WIB
Oleh Gathot Subroto
Seperti yang kita ketahui, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ktiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPn.BM sudah mengatur tentang pemberian fasilitas di bidang PPN dan PPn.BM. Pada Pasal 16B tepatnya diatur ada dua jenis fasilitas yang diberlakukan di negeri ini antara lain yang pertama adalah Fasilitas PPN Dibebaskan dan yang kedua adalah Fasilitas PPN Terutang Tidak Dipungut.
Perbedaan antara dua fasilitas tersebut adalah pada perlakuan terhadap PPN Masukan yang berkaitan dengan kegiatan yang diberikan fasilitas. Untuk Fasilitas PPN Terutang tidak dipungut atas PPN Masukannya dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sedangan untuk Fasilitas PPN Dibebaskan atas PPN Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pemberlakuan tersebut sudah sesuai dengan pemberian fasititas yang lazim dilakukan secara internasional terutama untuk negara-negara yang memberlakukan PPN untuk pajak konsumsinya.
Secara teori, untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai, khususnya untuk mendukung penerapan prinsip Pajak Pertambahan Nilai yang telah dianut, diperlukan suatu ketentuan hukum tertentu. Dalam Pajak Pertambahan Nilai, komoditas, transaksi atau perusahaan dapat menerima perlakuan khusus pengenaan pajak dalam dua perlakuan yang berbeda, dengan tarif nol (zero rate) atau pembebasan (exemption).
?Zero rating?, atau tarif nol mengacu pada suatu situasi di mana tarif pajak yang diterapkan terhadap penjualan adalah nol, meskipun pengkreditan masih diperkenankan terhadap pajak yang dibayar atas input-nya. Dalam kasus ini, perusahaan akan berkesempatan untuk mendapatkan restitusi (refund) atas pajak masukannya. Dalam suatu desain PPN, yang didesain untuk memajakai hanya atas konsumsi dalam negeri, atas ekspor dikenakan zero rate, yang dapat diartikan bahwa dengan adanya ekspor, maka atas barang dari suatu negara terbebas nilainya dari segala bentuk pajak konsumsi (VAT). Hal ini konsisten dengan destination principle, dimana dalam norma internasional pajak dibayar atau dikenakan terhadap suatu barang dinegara terakhir dimana barang tersebut dijual (dikonsumsi). Di PPN Indonesia pemberian fasilitas 0% ini salah satunya diberikan untuk kegiatan ekspor Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, diaturnya pada Pasa 4 ayat 1 (tentang Objek PPN) bukan pada Pasal 16B yang mengatur tentang fasilitas.
?Exemption? atau pembebasan berbeda dengan tarif nol, bahwa pajak tidak dikenakan lagi terhadap penjualan output dan atas pajak yang dibayar terhadap input tidak dapat diklaim. Sehingga tidak dapat kesempatan untuk mendapatkan restitusi.
Pilihan antara pengenaan pajak tarif nol atau dibebaskan harus didasarkan atas dua pertimbangan yang hakiki, yaitu apakah dimaksudkan untuk membebaskan pengguna produk dari keseluruhan beban Pajak Pertambahan Nilai atau hanya sebagian saja, dan apakah dimaksudkan untuk mengecualikan pengusaha tertentu dari kewajiban administratif pelaporan pajak. Dengan pengenaan tarif nol, pengusaha dan pelanggannya terbebas seluruhnya dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tetapi pengusaha tersebut tetap harus memenuhi kewajiban administratif pelaporan pajak. Sementara jika pengusaha dikecualikan dari pengenaan pajak, pengusaha tersebut tidak perlu memenuhi kewajiban administratif pelaporan pajak tetapi pelanggannya harus menanggung beban pajak yang timbul dari pelimpahan pajak masukan yang dibayar oleh pengusaha ke dalam harga produknya.
Dalam teorinya, tarif nol seharusnya digunakan jika otoritas pajak menginginkan bahwa suatu produk benar-benar dibebaskan dari pengenaan pajak. Penggunaan cara pembebasan pengenaan berarti bahwa pajak ditanggung oleh pengusaha, dan jika pengusaha menjual produknya ke konsumen, pengusaha harus melimpahkan beban pajak ke konsumen dengan menaikkan harga atau mengurangi pengeluaran atas faktor produksinya (barang modal dan tenaga kerja).
Jika suatu komoditas, sebagai contoh, dibebaskan hanya pada tingkat eceran, kemudian hanya tingkat pengecer saja yang bebas dari Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun pengecer tidak akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai pada penjualannya, pengecer tidak akan berhak mengkreditkan pajak yang dibayar atas pembelian untuk menghasilkan barang yang dibebaskan. Jadi, pembebasan atas suatu komoditas melalui keseluruhan saluran produksi dan distribusi akan diperlukan untuk membebaskannya dari keseluruhan beban pajak. Tetapi, dengan tarif nol, tidak seperti pembebasan, hanya penjualan akhir atas komoditas yang memerlukan tarif nol, sejak pajak yang sebelumnya dibayar akan dikreditkan pada penjualan terakhir.
Jika suatu bentuk transaksi tertentu, misalnya ekspor, dikenakan tarif nol, penjual (eksportir) tidak akan terkena pajak dan akan menerima kredit untuk pajak atas pembelian produk masukan. Prosedur ini membebaskan transaksi dari keseluruhan Pajak Pertambahan Nilai bertarif nol. Jika transaksi dibebaskan Pajak Pertambahan Nilai daripada dikenakan tarif nol, penjualan itu sendiri tidak akan dikenakan pajak, tetapi eksportir tidak akan menerima kredit untuk pajak yang dibayar atas pembelian dari barang atau masukan lain dalam produksinya untuk ekspor.
Sejumlah perusahaan tertentu, yang berbeda dari pengenaan atas komoditas atau transaksi, dapat juga diperlukan bertarif nol atau dibebaskan. Jika bank, misalnya dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai nol persen, bank akan terdaftar sebagai pemungut pajak dan memiliki kewajiban menyampaikan laporan Pajak Pertambahan Nilai, tetapi tidak akan ada pajak atas layanan perbankan dan keuangan yang diberikan oleh Bank. Bank akan menerima kredit (dan menyampaikan laporan untuk meminta pengembalian dana) untuk pajak yang dibayar atas pembelian bahan baku, barang modal, dan produk masukan lainnya. Jika bank, misalnya, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, nilai tambah aktivitas bank tidak akan terkena pajak, tetapi bank tidak memperoleh kredit atas pajak yang dibayar atas pembelian barang masukannya. Perusahaan-perusahaan yang dibebaskan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak mesti terdaftar dan tidak akan diminta untuk menyampaikan laporan pajaknya.
Kesimpulannya, kembali pada pemberian fasilitas yang diberlakukan pada UU PPN 1984 sudah diberlakukan sebagaimana lazimnya negara-negara lain yang menerapkan PPN untuk pajak konsumsinya. Secara teori sudah sesuai dan batasan-batasan pemberian fasiltas untuk kegiatan atau usaha tertentu (tabestand) juga lebih kurang sama. Hanya saja pemberian istilahnya yang sedikit berbeda. Zero rating di UU PPN 1984 sudah diberlakukan untuk mengenakan PPN 0% terhadap kegiatan ekspor dan sudah dimasukkan pada Pasal 4 ayat (1) ketika membahas masalah Objek Pajak, dimana ekspor menjadi salah satu objek pajak yang dikenakan tarif 0%.
Bagaimana untuk kegiatan lainnya yang akan diberikan fasilitas zero rating selanjutnya (selain ekspor)? UU PPN 1984 membuat penamaan yang berbeda meskipun makna dan pelaksanaannya sama yaitu Fasilitas PPN Terutang Tidak dipungut (Pasal 16B). Fasilitas ini serratus persen sama dengan Zero Rating, yaitu Pajak Masukannya boleh dikreditkan. Bisa dikatakan ekspor pada UU PPN di Indonesia adalah ?fasilitas? (dalam tanda petik) meskipun diaturnya bukan pada pasal yang khusus mengatur fasilitas.
Untuk fasilitas PPN Dibebaskan (Exemption) yang diterapkan di UU PPN Indonesia tidak ada perbedaan mendasar dengan teori dan praktik yang dilakukan oleh negara-negara lain yang memberlakukan PPN.
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik