home
Berita
Pengumuman
Artikel
Video
Sub Menu 1
Sub Menu 2
Sub Menu 3
Sub Menu 4
Sub Menu 5
Sekolah Kartini, Sebuah Harapan untuk Pendidikan Kaum Perempuan
Balai Diklat Kepemimpinan Magelang
Rabu, 21 April 2021 15:07 WIB
Siapa yang tidak kenal Raden Adjeng Kartini (1879-1904), tokoh yang lahir di Jepara ini dikenal karena perjuangannya dalam membela hak-hak kaum perempuan. Kartini melihat perempuan di Jawa saat itu terkungkung oleh peraturan adat. Kaum perempuan tidak bisa bebas dalam bersekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan orang yang tidak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Pemikiran-pemikiran Kartini tentang hal ini tertuang dalam tulisan-tulisannya. Di kesempatan yang lain, dengan didukung oleh suaminya, Kartini juga mendirikan sekolah wanita di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka di Rembang.
Raden Adjeng Kartini meninggal pada 17 September 1904 di usia 25 tahun. Pada tahun 1911, tulisan-tulisan Kartini diterbitkan. Seorang Belanda bernama Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) yang merupakan tokoh politik etis terkesan dengan tulisan-tulisan Kartini yang sejalan dengan cita-cita Deventer sendiri, yaitu mengangkat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis serta memperjuangkan emansipasi mereka. Politik etis sendiri adalah sebuah kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mensejahterakan rakyat kolonial mereka.
Di tahun 1912 dibentuklah komite yang bertugas merumuskan pendidikan perempuan Jawa. Komite ini digerakkan secara penuh oleh orang-orang yang dekat dengan pemikiran-pemikiran Kartini, diantaranya adalah Abendanon dan Deventer. Di tahun itu juga diresmikanlah Yayasan Kartini dengan Conrad Theodore van Deventer sebagai pimpinan pertama. Yayasan ini mempunyai sumber dana yang berasal dari penjualan kumpulan surat-surat Kartini. Dan pada akhirnya Yayasan Kartini berhasil mendirikan sekolah wanita yang diberi nama Sekolah Kartini di Semarang pada tahun 1912.
Ditahun pertamanya, Sekolah Kartini mampu menampung sekitar 112 orang siswi dengan lama pendidikan dua tahun, jumlah ini semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Awalnya Sekolah Kartini hanya ditujukan untuk anak-anak bangsawan. Pengurus dan tenaga pengajarnya pun ditempati oleh perempuan-perempuan dari Belanda. Namun kebijakan ini perlahan berubah ketika Sekolah Kartini mulai memperluas jaringan ke berbagai daerah. Pada akhirnya Sekolah Kartini tidak lagi didominasi oleh anak-anak perempuan bangsawan.
Di Jakarta, Sekolah Kartini didirikan dibawah Vereeniging Bataviasche Kartinischool (Perhimpunan Sekolah Kartini Batavia) dan menjadi jaringan sekolah pertama yang mau menampung anak-anak tidak mampu untuk masuk ke Sekolah Kartini. Perhimpunan ini memasukkan anak-anak putri dari kalangan menengah ke sekolah Kemadjoean Istri School yang dikategorikan sebagai sekolah pribumi kelas dua.
Setelah tahun 1928, dalam semangat Kebangkitan Nasional, akhirnya guru-guru pribumi bisa masuk ke dalam pengurus dan pengajar di Sekolah Kartini.
(Dikutip dari berbagai sumber).
Layanan Informasi Unit
Layanan Informasi Kediklatan dan Pembelajaran
Layanan Bantuan dan Pengaduan
Informasi Publik